Senin, 08 Maret 2021

Cerpen : Mungkinkah Kesedihan Membuat Orang Sedikit Lebih Gila? karya Justang Zealotous

Cerpen : Mungkinkah Kesedihan Membuat Orang Sedikit Lebih Gila? karya Justang Zealotous
 
[Dimuat harian FAJAR Makassar, edisi Minggu, 07 Maret 2021]

Kami benar-benar terpukul. Ibu yang beberapa bulan terakhir ini bolak-balik ke rumah sakit karena pernyakit gulanya meradang sampai-sampai kami kebingungan mencari biaya pengobatannya, justru bapak yang dijemput ajal. Bukan kami mengharapkan ibu yang seharusnya lebih dulu diambil Izrail, tapi kenapa bapak yang sehat yang cuma mengeluh sakit punggung malamnya, pas pagi dia sudah tak lagi bernapas.

Aku yang pertama kali menyadari kematian bapak ketika ibu yang sedang memasak di tengah sakitnya memintaku untuk membangunkan bapak. “Kasih bangun’I bapakmu, Rohim! Tidur terusji saja nakerja.” Dan ketika aku mendatangi bapak di kamarnya, wajahnya sudah pucat pasi. Aku mencoba menggoyang-goyangkan badannya, tidak ada tanggapan. Segera saja aku merasa ada yang aneh pada bapak. Kuraih lengannya, kucek nadinya, hampa. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan.

Aku langsung meneriaki semua orang di rumah. Kuteriaki ibu, kuteriaku Mashun, kakakku yang sedang mandi di sumur belakang rumah, kuteriaki Misbah, kakak perempuanku yang juga membantu ibu memasak di kolong rumah dengan kayu bakar. Tak cukup lama, mereka sudah berdatangan dengan wajah penuh tanya.

“Tidak adami bapak…” hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku dengan suara tertahan-tahan, dengan sedusedanku, ketika mereka bertanya. 

Misbah, jelas, sontak menangis menjerit seraya menggerak-gerakkan badan bapak seolah tak percaya bapak benar-benar telah berpulang. Begitu pula Mashun yang sedikit telat datangnya langsung tersengut-sengut sambil meninju dinding kayu rumah kami.

Sesuatu yang tidak kumengerti, aku tidak melihat air mata yang keluar dari mata ibu yang keriput. Dia juga tidak menjerit. Dia hanya membatu di tempatnya sambil menatap bapak yang sudah tiada dengan air muka yang datar. Lantas, sesaat kemudian, dia bergerak mendekat. Dia meraih sarung di atas lemari, lalu menutup tubuh bapak dengan sarung itu, lagi, dengan air muka yang datar.

Dia hanya berkata dengan sangat pelannya. “Tanya’I tetangga! Tanya’I saudara-saudaranya bapakmu! Tanya’I keluargata yang jauh!”

Aku percaya ibu jauh lebih bersedih dibanding kami, anak-anaknya. Kehilangan pria yang puluhan tahun tidur bersamanya pasti membuat hatinya tersayat. Namun, kesedihan yang dimiliki ibu barangkali terlalu besar sehingga tidak cukup sekadar air mata. Dia butuh luapan lain, tapi itu masih belum bisa diterima otaknya sehingga dia hanya membungkam.

***

Para pelayat dari tetangga-tetangga telah berdatangan, berpakaian hitam-hitam, menunjukkan perasaan duka. Ada yang menyesaki rumah panggung kami, ada juga yang terpaksa duduk di kolong rumah karena kecilnya rumah panggung kami.

Sementara itu, ibu belum kembali. Dia keluar bersama Misbah. Aku tidak tahu ke mana mereka pergi. Aku hanya melihat mereka meninggalkan rumah saat satu per satu para pelayat itu datang. Mashun juga tidak tahu saat kutanya soal kepergian mereka. Entah. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Mungkinkah kesedihan bisa membuat orang sedikit lebih gila?

Setelah rumah kami penuh dengan pelayat, ibu akhirnya datang bersama Misbah. Aku yang kebetulan duduk di beranda rumah panggung kami bisa melihat mereka dengan jelas datang dari arah selatan dengan tergesa-gesa.

“Dari manaki, Kak, sama ibu?” tanyaku ketika Misbah sudah naik. Aku tak mungkin menanyai ibu yang tampak linglung, sehingga mencari jawaban melalui Misbah ialah jalan terbaik.

“Rumahnya Pak Bahrun.”

“Mau apa?”

“Najual ibu cincinnya. Sudah kularang, tapi ibu maksa. Tidak mungkin juga kubiarkan ibu pergi sendiri. Lagi tidak bagus kondisinya.”

Aku tak bisa menyembunyikan perasaan terkejutku. Bagaimana tidak, cincin itu sudah kami perjuangkan agar tidak sampai dijual, tapi nyatanya akan berakhir seperti ini. Padahal, aku masih ingat bapak yang sangat kekurangan terpaksa menjual satu-satunya warisan dari almarhum kakek, yaitu sepetak sawah di Letta, yang penting bukan cincin itu yang terjual.

“Itu cincin yang Bapak belikan untuk ibumu saat kami menikah. Jangan jual! Tidak adami kenangan lain yang Bapak simpan buat ibumu selain itu cincin,” terang bapak pada kami ketika ibu terbaring di rumah sakit dan kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan saat itu, Mashun terpaksa berhenti kuliah dan memilih ikut mengambil padi seperti bapak, Misbah yang sedang merantau terpaksa pulang. Aku juga ingin berhenti sekolah, tapi bapak melarang. “Cukupmi Bapak yang bodoh,” katanya.

Bapak pun menjual sepetak sawah itu demi biaya pengobatan ibu, pun membayar hutang-hutang yang masih tersisa waktu menguliahkan Mashun, meski tak sepenuhnya hutang kami lunas.

Mashun yang akhirnya mendengar kalau ibu menjual cincin itu ikut bertanya-tanya sampai aku, Mashun, juga Misbah berdebat di samping jasad bapak, sampai kemudian ibu datang menengahi.

“Mukira mati tidak butuh biaya? Proses pemakaman bapakmu saja butuh biaya besar. Mana lagi kita harus masak banyak untuk kasih makan keluargamu yang dari Pinrang kalau mereka datang. Belumpi lagi tujuh hariannya, empat puluh hariannya. Di manako dapat uang?” Sekian lama, ibu akhirnya menangis tersedu-sedu.

Kami diam. Melihat ibu terkulai hingga jatuh terduduk di samping jasad bapak membuat kami teriris. Ditambah lagi pandangan heran para pelayat menggores hati kami.

“Kalau matika juga, masih mupikirkah itu cincin?” lanjut ibu yang setelahnya tiba-tiba merasa sesak. Dia menekan dadanya kuat-kuat sampai kemudian dia ambruk di samping jasad bapak. Kami histeris. Kami meraih tubuhnya yang amat lemah. Hingga kami sadar, tidak ada lagi kehidupan di sana. (*)

Bungi, 03-03-21