Minggu, 24 Maret 2019

Cerpen: Kisah yang Seharusnya Manis karya Justang Zealotous

Cerpen: Kisah yang Seharusnya Manis karya Justang Zealotous
[Dimuat harian FAJAR Makassar, edisi Minggu, 24 Maret 2019]

Malam ini aku diundang menghadiri sebuah peresmian kafe yang mengharuskan seluruh tamunya mengenakan batik. Tapi bodohnya, aku tidak paham batik mana yang paling cocok yang mesti kupakai. Andai saja dia masih ada, sebagai istriku. Andai pagi itu aku tidak mengatakan kalimat paling bodoh, “Aku ingin cerai.”

Anjani terdiam, menatapku tajam dengan matanya yang merah berkaca-kaca tapi tak sebening pun yang akhirnya jatuh, lalu mulai bersuara, lirih sekali. “Jika itu maumu, baiklah.”

Aku benar-benar telah melakukan kesalahan besar dengan menggadaikan cintaku untuk seorang perempuan yang kutemui di kantor. Saat itu, aku berpikir kalau istriku, tepatnya mantan istriku, sudah tidak mencintaiku lagi sehingga aku memilih untuk berpisah dengannya. Dugaan itu mulai membuncah ketika dia lebih sibuk mengurusi butik batiknya daripada aku sendiri.

“Aku tidak ingin menyelingkuhimu, jadi baiknya kita berpisah saja.”

Lagi-lagi Anjani terdiam. Benar-benar terdiam. Dia pun enggan menatapku hingga aku merangkak pergi menjauhinya. Malamnya, kubawakan surat cerai, dan dia tanda tangan tanpa berkata-kata. Tidak cukup lama, kami resmi bercerai. Dia pergi dan aku tak tahu ke mana.

Setelah enam tahun, setelah aku merasakan sakitnya ditinggalkan oleh perempuan kantor sundal itu, perempuan yang diam-diam mencuri waktu untuk menemui kekasih lamanya, aku baru menyadari kalau keputusan cerai enam tahun lalu itu ialah keputusan terbodoh.

Aku baru sadar kalau aku mencintai Anjani lebih dari apa pun. Jika Tuhan mengizinkan kami bertemu kembali, dan bilamana dia belum bersuami lagi, ingin rasanya aku rujuk dengannya. Betapa pun selama kami menikah, aku belum banyak memberikan yang terbaik buatnya. Aku teramat egois memikirkan diriku sendiri ketimbang memikirkan kemungkinan kenapa dia lebih sibuk di butik daripada melayani suaminya.

Dialah perempuanku, pembatik dari Jogja. Aku mengenalnya saat kegiatan studi tur kampus yang membawa kami ke keraton untuk melihat orang-orang membatik. Jujur, aku bukanlah tipe orang yang punya jiwa nasionalisme tinggi. Batik, bukanlah sesuatu yang indah buatku. Tapi melihat tangan perempuan itu yang lihai memegang canting dan membentuk motif-motif ke dalam sebuah kain, aku mulai tertarik.

Anjani juga senang menjelaskan makna setiap motif yang dia buat. Penjelasan yang makin membuat cintaku pertama kali jatuh pada batik, juga padanya. Seperti motif parang yang dipakai kalangan bangsawan, motif yang katanya dikenal sebagai motif tertua di Jawa. Atau motif batik yang mirip biji pinang yang menyimbolkan rezeki melimpah.

“Menarik,” kataku. “Kira-kira menurutmu motif batik apa yang cocok buatku?”

Anjani semringah. “Mungkin yang ini.” Dia menunjukkan motif batik yang berupa bentuk geometris dengan ukuran besar. Sekilas motifnya mirip kelopak bunga dengan titik-titik di sekitarnya yang menambah cantik batik itu. “Batik grompol. Batik ini memiliki makna bersatu, artinya sebuah harapan agar orang yang mengenakannya hidup cerah di masa depan serta rukun dengan keluarga.”

Aku tidak menyangka maksud perempuan itu mengenai makna yang disampaikannya menjadi benar-benar kenyataan. Aku melamarnya setelah lulus dari kampus dan kami tuntas menikah. Kami seolah-olah—pada saat itu—merasakan masa depan yang begitu cerah. Sayangnya, aku merusak makna itu, makna rukun itu, dengan menceraikannya setelah pernikahan kami bahkan belum diisi tangisan bayi.

Sudah hampir jam 7, aku belum memilih satu batik pun untuk kukenakan. Aku bingung. Aku memang bukan pemilih yang baik. Lagian di rumah perantauan ini, setelah tidak lagi beristri, aku hidup sendirian jadi tak seorang pun bisa kutanyakan.

Dan di tengah kebingungan itu, aku mendapati sebuah batik yang berada di antara tumpukan baju usang. Paling bawah. Baunya sedikit apak. Aku ingat batik ini. Batik truntum. Batik terakhir yang perempuan itu buatkan untukku saat hari-hari paling akhir sebelum perceraian kami. Entah apa maknanya, dia belum sempat menjelaskan. Dia hanya bilang, “Batik truntum ini untukmu. Semoga kamu bahagia bersamanya.”

Mungkin, ini saatnya aku mengenakan batik itu. Sekalian mengobati rindu dan penyesalanku. Untuk membuang baunya, beberapa semprotan parfum dirasa cukup. Dan malam ini aku pergi juga dengan batik bermotif taburan bunga-bunga kecil atau seperti kuntum bunga melati.

Dalam perjalanan, aku sengaja browsing makna batik truntum pemberiannya. Tercengang dan membuat tanganku lumayan bergetar. Batik truntum ternyata memiliki kisah yang apik bahwasanya Raja Pangkubuwono III kembali jatuh cinta di ujung tombak pernikahan pada Ratu Beruk karena sang ratu menghadiahi batik tersebut. Mungkinkah ini yang diinginkan Anjani? Dia juga masih berharap aku tidak meninggalkannya dengan memberikan batik itu. Maafkan aku, Anjani.

Tanganku masih bergetar setiba di kafe. Seperti namanya, Batik Cafe, gedungnya dihiasi batik di mana-mana. Dinding, tiang penyangga, hingga kursi dan meja. Semua bermotif batik. Di gedung itu pula, sudah ada banyak tamu yang hadir. Dan beberapa tamu itu, aku betul-betul dikejutkan dengan salah seorang perempuan yang tak asing. Mengenakan batik sama yang kukenakan. Batik truntum. Perempuan yang sudah kusia-siakan cintanya.

“Anjani?” Aku menyapanya duluan. “Kamu juga datang ke sini?”

Anjani tampak heran melihatku tapi kemudian bersikap seolah biasa saja. “Tentu. Aku ikut merancang kafe ini.”

Dia tersenyum. Hangat sekali. Tiba-tiba seorang anak kecil perempuan yang mengenakan batik serupa berlari ke arahnya. Dia segera menyambutnya sambil sesekali menggunakan sapaan Nak. Batik boleh sama. Tapi Tuhan berkehendak lain. Dia mungkin telah bersuami lagi. Pupus sudah harapanku.

“Maaf. Aku pergi dulu. Istriku menunggu.” Dan aku terpaksa berbohong.(*)


Watampone, 30/11/18