Minggu, 28 Juli 2013
Ketika kau punya kekasih. Apa yang kau lakukan? Menikmati indahnya
cinta. Memberikan dia perhatian lebih. Menanyakan kabarnya. Mengajaknya makan
malam. Kencan berdua di malam minggu.
Tapi itu tidak cukup bagiku. Aku ingin cinta yang serius. Cinta yang
diikat oleh tali yang sakral. Aku ingin hidup bahagia sampai dunia
menenggelamkanku bersama keluarga kecil. Aku ingin cinta yang abadi. Cinta yang
tak hanya menjadi sepasang kekasih. Tapi juga merupakan sebuah pasangan yang
ditumbuhi oleh generasi mereka. Aku ingin pernikahan.
Terasa semua itu akan terwujud ketika kutemukan seorang wanita idaman
yang telah aku jadikan seorang kekasih selama lima tahun. Aku tak pernah
diputuskan atau memutuskan karena dia adalah satu-satunya kekasih yang pernah aku
miliki. Namun aku tak pernah berani menemui orang tuanya dengan keadaan hampa
seperti ini untuk melamarnya. Maka kupersiapkan selama lima tahun untuk
menghabiskan keringat mencari gumpalan demi gumpalan uang.
Jika ada yang berkata bahwa cinta cukup membahagiakanmu. Maka berani
kukatakan itu salah. Apa yang akan kau beri untuk anak dan istrimu jika hanya
dengan cintamu. Kamu akan menyengsarakan mereka.
Maka sampailah, ketika aku telah menemukan pekerjaan layak. Ketika
jabatan direktur berhasil kugenggam dengan keringat yang pernah menghabiskan
tenagaku. Aku akan melamarnya. Kan kutemui orang tuanya. Menghadap dan berkata
bahwa “aku ingin menikahi anakmu.”
Namun sebelum aku ke orang tuanya. Aku ingin sesuatu yang besar. Sebuah
kejutan yang akan membuat hatinya berkobar-kobar. Berbunga-bunga. Aku terus
berkorban demi kudapatkan cincin yang melingkari jari kita berdua. Aku pun tak
pernah lupa ketika ia berkata: “Nikahi aku atau aku akan terjung ke jurang
itu.” Sedikit memaksa tapi aku sangat suka mendengarnya.
Aku mempersiapkan kejutan besar untuk melamarnya selama satu bulan. Aku
membeli ke pasar atau swalayan. Aku memasak sendiri. Beberapa makanan ada yang
dibeli. Semua tenaga kulampiaskan untuk dia, kekasihku yang bernama Selvi.
Teman-teman yang setia juga ikut membantu aku mempersiapkan semuanya.
Selama persiapan kejutan ini. Aku selalu bersembunyi agar kejutan benar-benar
menjadi kejutan.
Akhirnya ketika satu minggu sebelum malam kejutan terjadi. Seminggu itu,
aku tak pernah menghubunginya. Aku tak pernah mengirimkan pesan singkat
sedikitpun padanya. Aku pun juga tak pernah menemuinya. Karena pada waktu itu,
aku sedang merancang dekorasi dan semua perlengkapan kejutan untuknya.
Waktu kejutan telah tiba. Perasaanku mulai tidak tenang. Aku sedikit
ragu bahwa kejutan ini akan berhasil. Tapi aku berusaha yakin dan percaya pada
semua yang telah aku lakukan bahwa akan berjalan sukses.
Ketika matahari masih bertahan menyinari bumi. Belum tenggelam di ufuk.
Ku kirimkan pesan singkat padanya melalui telepon seluler.
“Sayang, datanglah malam ini di taman biasa. Taman tempat pertama kali
kita ketemu. Aku punya sesuatu untukmu,” terkirim untuknya.
Setelah semua selesai kupersiapkan. Malam pun tiba. Kulihat jarum jam
yang melingkari tanganku menunjukkan pukul 07.30 malam, ia belum datang juga.
Pikiranku mulai melayang-layang. Aku takut ia tak akan datang. Aku takut semua
akan sia-sia. Jutaan ketakutan terus terbayang-bayang dalam pikiranku.
Di taman, tempat kejutan yang kupersiapkan untuknya. Tempat dengan dekorasi
yang sangat indah. Terdapat beberapa kursi yang telah diisi beberapa orang yang
tersusun melingkari dua kursi kosong yang khusus untuk aku duduki bersama
kekasihku nanti. Ada juga orkestra yang tersembunyi khusus untuk hiburan. Lampu
hias warna warni menghiasi tempat itu. Taman dengan kolam ikan di sisinya makin
menambah keromantisan kejutan nanti. Bunga-bunga yang harum semerbak juga
mewarnai kejutan ini. Semuanya telah siap sedia.
Setengah jam berlalu. Kekasihku belum menampakkan wajah indahnya itu.
Aku makin tak tenang. Keringat ketakutan juga ikut membasahi kemeja panjang
putih dan dasi yang aku kenakan.
Sembari menanti ia datang. Sepupuku, Meni datang menghampiriku dan duduk
bersamaku di kursi yang ada di tengah-tengah. Ia memberiku semangat dan agar
tidak resah menantinya datang. Lalu ia mencium keningku, wujud semangat
darinya.
Saat bibirnya terlekat di keningku. Seketika itu juga Selvi, kekasihku
datang. Ia melihat Meni menciumku. Ku tatap wajahnya dari jauh yang berisikan
kekecewaan. Ia marah. Sangat marah. Kemudian ia menghampiriku dan segera
mengambil satu gelas berisi minuman dan melemparinya ke arahku. Aku kaget dan
terkejut.
“Oh, aku tahu. Satu minggu kamu tak pernah menghubungiku karena kamu
telah memiliki kekasih baru,” ungkapnya dan air matanya lalu menangis deras
membuat maskaranya ikut luntur.
Aku berusaha menjelaskan dan begitupun Meni tapi Selvi terus berbicara
tanpa henti, terus menghalangi aku berbicara. “Inikah yang ingin kau tunjukan
padaku? Sukses. Kejutan ini sangat sukses,” diam dan menundukkan kekecewaannya
sejenak.
Aku ingin berbicara dan menjelaskan sesuatu tapi ia malah menutup
mulutku dengan jari telunjuknya.
“Selvi, aku bisa jelaskan,” kata Meni berusaha berbicara.
“Diam! Kamu diam!” celah Selvi kemudian. “Kekasih barumu ini sangat
cantik. Inikah balasanmu selama lima tahun. Aku.. ,” sebelum Selvi sempat
meneruskan perkataannya tiba-tiba spanduk yang tertuliskan WILL YOU MARRY ME? yang
telah aku persiapkan untuk Selvi, kekasihku terbuka lebar diikuti orkestra yang
mulai memainkan musik merdunya. Selvi melihatnya dan mulai menahan amarah
sembari tangisannya makin deras dan membuat riasan wajahnya mulai luntur satu
persatu.
“Hah? Jadi, kamu menyuruhku datang untuk menyaksikan kamu melamarnya?
Selamat, semoga kalian menjadi pasangan yang berbahagia,” putus Selvi dan
kemudian lari terisak-isak meninggalkanku.
Hal yang aku takutkan terjadi. Aku menjerit. Aku menangis. Air mataku
tak kuasa lagi kubendung. Semua yang kulakukan berantakan. Pengorbananku kacau
hanya satu malam ini. Aku tak ingin semua ini berakhir sia-sia. Aku lari dan
kejar dirinya. Namun ia memanggil taksi dan pergi dengan taksi itu.
Beberapa orang yang hadir di tempat itu juga menangis haru. Sementara
Meni terus memohon maaf padaku karena menyesal. Seketika aku tersadar. Aku
yakin bahwa Selvi pergi ke suatu jurang. Jurang, seperti yang pernah ia katakan
padaku jika aku tak menikahinya.
Lalu dengan cepat kupinjam motor gede sahabatku. Kukendarai dengan
sangat cepat. Beberapa orang juga terlihat mengikutiku dari belakang.
Beberapa menit dan sampai jua aku di dekat jurang. Benar, ia berdiri
tepat di tepi jurang. Mengambil ancang-ancang untuk segera menjatuhkan
tubuhnya. Dengan cepat kuhalangi maksudnya.
“Tunggu! Kamu perlu dengar penjelasanku,” teriakku menghalangi.
“Apalagi yang ingin kau jelaskan? Semuanya sudah terasa jelas antara kau
dan dia. Pergi! Dan biarkan aku mati di sini.”
“Tidak. kamu jangan tinggalkan aku. Aku tak pernah menghubungi seminggu
kemarin karena aku mempersiapkan ini semua. Aku ingin melamarmu. Sementara
wanita itu. Dia adalah Meni, sepupuku. Tolong! Percaya padaku. Tak pernah
seorang pun mampu menggantikan posisimu di ruang hatiku,” kataku menjelaskan
sembari berjalan perlahan mendekatinya.
“Aku tak percaya. Semua sudah terasa jelas ketika dia mencium keningmu,”
bantahnya dan makin dekat ia ingin menjatuhkan diri.
“Ciuman itu sebagai tanda penyemangat darinya. Tak ada cinta sedikitpun.
Percayalah!”
Aku kemudian tepat di hadapannya. Lalu beberapa orang tadi juga sampai
di dekat jurang. Meni pun juga tampak datang bersama dengan orang tuaku.
“Selvi, percayalah. Aku adalah sepupu Radit. Kami tak pernah ada
hubungan kekasih,” ungkap Meni berusaha menjelaskan.
“Betul Selvi. Dia adalah sepupu Radit. Dia baru pulang dari Singapura,”
tambah ibuku menjelaskan.
“Selvi, sekarang kamu percaya kan?” tanyaku.
“Radit!” sahutnya lalu segera memelukku. “Dit, aku tak pernah rela
seseorang pun memilikimu. Maafkan aku karena tak mempercayaimu. Tolong! Maafkan
aku,” ungkapnya dan mulai menunjukkan senyuman manisnya itu.
“Selvi, kamu tak salah. Tak pernah salah. Lalu, WILL YOU MARRY ME?”
“I WILL MARRY YOU. Nikahi aku atau aku akan terjung ke jurang itu,”
tegasnya dengan canda sedikit dan kembali memelukku erat.
Akhirnya, persiapanku berakhir dengan pelukan indah kami. Semua orang
tampak bersorak sorai ria memandang kami yang sedang bertumpu pada cinta yang
utuh. Aku dan kekasihku, Selvi lalu bergerak maju meninggalkan jurang yang
hampir meleburkan tubuh Selvi. Namun, tiba-tiba aku yang sangat senang saat itu
tergelincir oleh batu yang kuinjak. Tubuhku terhempas dan membuatku jatuh ke
jurang. Selvi terkejut dan lalu menjerit. Semua orang yang hadir pun teriak
kaget.
Akhhhh. Untung aku mampu bertahan. Aku menggenggam erat akar pohon yang
tergantung di tepi jurang. Kukerahkan sekuat tenaga untuk dapat naik atas lagi.
Selvi yang dibantu beberapa orang lainnya membantu menarikku naik ke atas.
Dasi hitam yang melingkari kepalaku lalu kubuka perlahan. Kuikatkan pada
akar pohon itu lalu menarik diri sekencang-kencangnya. Dengan bantuan tarikan
lainnya, akhirnya aku berhasil keluar dari jurang. Selvi yang terus menjerit
menangis melihatku lalu memelukku sangat erat. Ia sekaan tak ingin lepas dari
pelukanku. Ku sapu air matanya agar ia tak bersedih dan lalu kucium keningnya.
Semua orang kembali bersorak riuh.
Watampone, 29 Juli 2013
Justang
Related Story for Cerpen
,Fiksi
,Romance
9 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
woww great.. kiraain tadi bakal sad ending lagi haha.. bagus kak ceritanya bikin greget :3
BalasHapushehehe, awalnya sih mau buat sad ending tapi banyak yang minta happy ending, jadi diubah deh konsepnya :-)
Hapuskan jauh lebih bagus happy ending, pembaca pun senang :D
BalasHapusmesti dipertimbangkan nih untuk buat lebih banyak happy ending (o)
Hapushaha, bgus2:D
BalasHapusthanks :>)
Hapuskayaknya seru kak kalau sad ending
BalasHapusEmang awalnya sad ending tapi konsep diubah karena banyak yang minta untuk happy ending, hehhee :D Terima kasih sudah mampir.
HapusHmmmm sedih hiks
BalasHapus