Jumat, 19 Januari 2024

Cerpen: Tabib Terakhir karya Justang Zealotous

Cerpen: Tabib Terakhir karya Justang Zealotous
[Dimuat harian Kedaulatan Rakyat, edisi Jumat, 19 Januari 2024]

Tabib terakhir di kampung telah mati. Tabib yang orang-orang kampung kenal dengan nama Mbah Kakung itu mati setelah terbaring seminggu di rumahnya. Ia mati di samping anak bungsunya, Pardi.


Mbah Kakung mati dalam usia delapan puluh tiga tahun. Meskipun tak lagi muda, kulitnya kendor berkeriput, Mbah Kakung masih sanggup ke sawah mencangkul, membajak, memanggul sekarung gabah untuk dibawa pulang. Namun, tubuh Mbah Kakung yang sekuat baja kalah dengan angin malam yang tetiba menerobos masuk. Mbah Kakung membungkus badannya dengan dua sarung, tapi perasaan dingin yang menjalari tubuhnya masih sangat menusuk. Belum lagi, Mbah Kakung terbatuk-batuk dan semakin lama ia serupa daging sapi yang baru saja direbus di atas kompor.


Mbah Kakung memiliki tiga anak, tapi ia hanya mampu bergantung pada Pardi. Anak pertamanya, Suaib menjadi dokter bedah di Makassar dan tak pernah pulang kampung. Anak keduanya, Rukmini telah pergi ke Malaysia ikut suaminya. Pardi seorang yang hanya berijazah SMP itu yang menemani Mbah Kakung karena ibunya pun telah lama mati. Pardi mengaku setiap malam telah memasakkan obat-obat herbal sesuai dengan perintah Mbah Kakung sendiri. Pardi pernah menelepon Suaib minta resep, dikasih, segera dibeli, tapi Pardi bilang, Bapak itu ngeyel, tidak suka minum obat kimia. Akhirnya, kolaps juga dengan ramuan-ramuan buatannya.


“Sedih ya, punya anak tiga, tapi akhir hayatnya sampai ke liang lahat pun hanya dilihat anak bungsu seorang.” Emak menyinggung. Semenjak berita kematian Mbah Kakung terdengar, kami memang tak pernah melihat batang hidung Suaib dan Rukmini. Suaib sudah ditelepon berkali-kali, tapi jawabannya selalu sama, banyak pasien. Rukmini malah hilang kabar.


Kesedihan Emak hanya secuil dibandingkan kesedihan orang-orang kampung ditinggalkan Mbah Kakung. Sebab, siapa lagi yang akan menyembuhkan penyakit-penyakit orang kampung jika tabib terakhir telah mati, sementara menemui dokter masih sulit?


Aku masih ingat kecelakaan motor setahun lalu. Bukannya memikirkan puskesmas atau rumah sakit, aku langsung menyuruh Emak sama Abah membawaku ke Mbah Kakung. Padahal, tulang lengan kananku telah mencuat. Entah mengapa naluri memintaku menemui Mbah Kakung. Sampai di rumahnya, Mbah Kakung melepaskan pakaianku. Dia membacakan sesuatu pada gelas yang berisi air. Mbah Kakung mengolesi air itu ke lengan kananku sebelum ia perlahan menariknya. Aku tidak merasakan sakit apa pun, dan ia tetiba berkata, selesai. Aku memeriksa lengan kananku, dan benar, tak ada lagi tulang yang mencuat. Kami pulang setelah Emak menyalami Mbah Kakung dengan sebungkus rokok dan uang seratus ribu.


“Masa Pardi tidak meneruskan ilmu bapaknya? Kalau Suaib dan Rukmini wajar bila tidak, tapi Pardi? Pardi berpuluh-puluh tahun tinggal bersama bapaknya. Mustahil sebaris kalimat suci tidak diketahuinya.” Omongan-omongan sejenis meriuhkan pemakamaman Mbah Kakung. Kulihat wajah Pardi, ia benar-benar tidak nyaman dengan omongan-omongan itu. Ia pasti sangat terluka. Orang-orang telah meninggalkan kuburan Mbah Kakung, tapi laki-laki dua puluh tiga tahun itu masih bersimpuh di samping gundukan tanah bapaknya, sendirian. Aku bermaksud menemaninya, tapi tatapannya yang tajam memberikan isyarat penolakan.


Besoknya, kesedihan orang-orang kampung berubah tegang. Seorang petani cengkih mengabarkan kuburan Mbah Kakung dibongkar seseorang. Ada bekas kain kafan di antara tanah yang menghambur. Dan anehnya, Pardi menghilang. (*)

Senin, 30 Oktober 2023

Cerpen: Ibu Melarang ke Sungai Sendirian karya Justang Zealotous

Cerpen: Ibu Melarang ke Sungai Sendirian karya Justang Zealotous 
[Dimuat harian Haluan, edisi Minggu, 29 Oktober 2023]


Bandi kecil telah berjanji pada ibunya untuk tidak mendekati sungai di belakang rumah sendirian, tapi aliran yang cukup deras itu terus menggodanya, sehingga Bandi kecil terpaksa ingkar janji. Bandi kecil tidak lupa minta maaf pada ibunya, bapaknya, juga Tuhan karena telah melupakan janji yang telah dia ikrarkan.


Bandi kecil membuka baju dan celananya. Dia bersiap untuk terjun ke sungai. Tapi langkahnya yang mungil terhenti ketika seseorang menarik tangannya. Bandi kecil menolehkan kepalanya, dan dia bingung karena tidak mengenal orang itu. Bandi kecil merasa baru pertama kali melihatnya.


“Kamu siapa?” tanya Bandi kecil heran. Bandi kecil menghentak-hentakkan tangannya, tapi tenaga orang itu lebih besar dibanding tangan mungilnya sehingga dia sangat sulit melepaskannya.


“Sungai itu tidak bagus untukmu. Kalau mau, aku bisa mengantarmu ke tempat yang indah yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.” Orang itu belum juga melepaskan tangan Bandi kecil meskipun Bandi kecil terus memaksa.


“Bagaimana dengan ibuku?” Bandi kecil bertanya. Kali ini, dia berhenti menghentak-hentakkan tangannya.


“Dia akan menyusulmu.”


“Bapakku?”


“Dia juga akan menyusulmu.”


“Mereka akan menyusulku ke tempat yang di bawahnya mengalir sungai-sungai itu? Benarkah?”


Orang itu tersenyum. Bandi kecil bingung. Namun setelahnya, Bandi kecil tidak lagi menolak. Dia mengikuti langkah orang itu dengan senyuman yang kini ikut terkunci di wajahnya.


“Mengapa kita belum sampai juga?” Bandi kecil bertanya setelah mereka berjalan cukup jauh. Mereka telah merambah hari yang mulai gelap dan dingin. Rumah-rumah warga kampung telah mengecil, dan perlahan menghilang ditelan daratan. Mereka menuju ke lembah yang seolah tanpa ujung.


“Bolehkah aku mengatakan sesuatu?” Bandi kecil bertanya lagi meskipun pertanyaan sebelumnya belum terjawab.


“Katakanlah.”


“Beberapa waktu lalu aku mendapati ibuku membawa seorang laki-laki ke rumah. Laki-laki itu memiliki perut yang besar dan bergoyang.”


“Apa itu bapakmu?”


“Bukan. Aku tidak mengenalnya.” Bandi kecil menghela napas. Dia merasakan angin yang tiba-tiba melewati rongga hidungnya. “Aku baru pertama kali melihat laki-laki itu. Sebenarnya aku tidak mengerti persoalan orang dewasa yang menurutku terlalu rumit. Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi dengan ibu dan bapakku, tapi mereka tidak pernah lagi pulang bersama. Justru, laki-laki berperut besar dan bergoyang itu yang kini pulang bersama ibu, sedang bapak tak pernah lagi terlihat di rumah. Tidak untuk makan, apalagi untuk tidur.


Aku sempat bertanya pada ibu selepas laki-laki berperut besar itu meninggalkan rumah kami, tapi ibu malah membentakku dan menyuruhku untuk berhenti mengurus urusan orang dewasa. Karena itu, aku tidak pernah lagi bertanya pada ibu.


Hari lain, bapakku akhirnya pulang. Aku senang sekali melihat wajahnya yang memiliki tekstur keras yang setiap kali aku memeganginya, aku seperti memegang tanah liat yang telah lama ditimpa sinar matahari. Hanya saja, bapak tidak tersenyum selama mengobrol dengan ibu. Wajah mereka sama-sama mengeras. Dia baru tersenyum saat melihatku. Bapak ingin menarik tanganku, bahkan ingin menggendongku, tapi ibu melarang.”


Bandi kecil berhenti. Dia menghentikan kalimatnya, juga langkahnya. Bandi kecil menarik napas dalam-dalam. Air matanya sempat terjatuh, tapi tidak banyak. Dia segera mengusap air mata itu, lalu mencoba melanjutkan ceritanya.


“Aku tidak mengerti mengapa orang dewasa suka bertingkah seperti anak-anak. Seperti ibu dan bapakku. Mereka mengingatkanku pada Sapri dan Juned. Ketika Sapri menarik celana Juned sampai kelihatan, ah aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi kamu pasti mengerti maksudku, Juned langsung menonjok wajah Sapri. Sapri yang tidak terima menonjok balik wajah Juned. Mereka dorong-dorongan, sampah salah satunya tersungkur ke tanah.


Ibu menutup pintu dengan keras dan menguncinya ketika berhasil membuat bapak terdorong keluar dengan sebuah pentungan kayu di balik pintu. Wajah ibu lebam setelah beradu dengan bapak.  Kulihat ibu menangis dan menjerit-jerit, dia juga memukul-mukul dadanya, tapi aku tidak berani mendekat. Aku hanya mampu mengintip dari bilik kamar.


Besok hari, ibu seakan-akan lupa dengan yang terjadi semalam. Dia menutupi biru di wajahnya dengan bedak tebal. Dia tidak lupa memakai gincu merah dan berpakaian serba mini. Setiap kali aku bertanya ibu mau ke mana, dia selalu bilang ingin berangkat kerja. Aku bahagia ibu tidak pernah bertahan dengan lukanya, tapi aku bingung mengapa ibu selalu meninggalkanku sendirian di rumah tanpa makanan. Aku lapar.


Ibu memang selalu bilang padaku untuk menunggu nenek. Ibu bilang nenek akan datang ke rumah membawakan makanan, tapi sudah beberapa hari nenek tidak pernah datang lagi. Aku takut memberitahu ibu soal itu. Terakhir aku memberitahunya, ibu malah memukulku dengan rotan. Ibu bilang nenek pasti enggan datang karena aku nakal. Aku suka mengganggu nenek. Padahal aku hanya menggantung tongkatnya ke paku yang mencuat di dinding agar dia belajar untuk berjalan.


Apa kamu ingin tahu satu hal?”


“Apa itu?”


“Gara-gara ibu tidak pernah memasak untukku, dan nenek tidak pernah lagi datang membawakan makanan, aku terpaksa mencuri makanan di warung Bu Sri. Aku tidak pernah memberitahu ibu soal ini. Aku mohon kamu juga tidak memberitahunya.”


“Tenang saja. Semua rahasiamu aman di tanganku.”


“Syukurlah. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan ibu lakukan padaku kalau dia sampai tahu. Aku masih ingat ketika dia tahu aku pergi menemui bapakku diam-diam. Kamu tahu sendiri, bukan, hati anak siapa yang tidak bakal rindu jika harus berpisah dengan bapaknya bertahun-tahun. Namun karena itu, ibu menjewer telingaku sampai merah sekali. Aku berteriak sakit, tapi dia tidak peduli. Dia terus saja menarik telingaku. Rasanya, telingaku mau putus saja. 


Sampai di rumah, ibu mengikat tanganku pada tiang rumah kami. Setelah itu, ibu mulai memukulku dengan pentungan kayu, pentungan yang sama yang dia pakai untuk membuat bapak akhirnya menyerah dan tidak bisa membantuku lagi. Ibu memukulku di bagian paha, pergelangan tangan, dan kepala. Aku pikir ibu akan berhenti setelah kepalaku mulai mengucur darah yang membasahi wajahku, tapi tidak, dia belum berhenti.


Ibu mengambil tongkat kayu yang nenek tinggalkan terakhir kali dia berkunjung ke rumah kami. Ibu menggunakan tongkat itu untuk kembali memukulku. Kali itu aku benar-benar lemah. Tidak ada lagi upayaku untuk berteriak meminta ibu berhenti.


Setelah tubuhku penuh darah, dan darah-darah itu membercak ke lantai dan ke dinding, laki-laki berperut besar dan bergoyang itu datang lagi ke rumah kami. Di tengah ketidakberdayaanku, aku bisa merasakan kehadirannya. Aku juga bisa melihat wajahnya yang sangat terkejut melihat darah-darah itu. Ibu menyuruh laki-laki itu mengambil karung goni dan memintanya memasukkan tubuhku ke dalam karung goni. Laki-laki itu bergetar ketika menuruti perintah ibu.


Aku masih ingat, sangat ingat, laki-laki berperut besar dan bergoyang itu membawa tubuhku dengan karung goni ke sungai. Dia ingin mengalirkan tubuhku bersama derasnya aliran sungai itu. Tapi kurasa, nyalinya tidak cukup kuat. Dia hanya meletakkan tubuhku di tepi sungai. Setelahnya, dia pergi entah ke mana.


Aku sempat berkata padanya dengan begitu lirih dengan mulutku yang penuh darah, jangan tinggalkan aku, ibu melarangku ke sungai sendirian.”


Bandi kecil menghentikan ceritanya, tapi tidak dengan langkahnya. Dia tidak menangis seperti setiap kali dia mengingat-ingat cerita tentang ibunya. Dia justru tersenyum.


“Sebentar lagi kita sampai ke tempat yang indah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai itu. Kamu tidak sabar, kan?” tanya orang itu.


“Tentu saja. Apalagi, aku ke sana tidak sendirian. Aku bersamamu.” Bandi kecil menoleh ke orang itu. “Boleh aku tanya lagi?”


“Tanyakanlah.”


“Apa benar ibu dan bapakku akan menyusulku ke sana?”


“Mereka akan menyusulmu, tapi bukan ke tempat yang sama. Dia akan pergi ke tempat yang lebih tepat.” Orang itu tersenyum. Bandi kecil tidak mengerti, tapi dia enggan bertanya lagi. Mereka terus melangkah, menyusuri lembah yang seolah tanpa ujung. (*)

Senin, 08 Maret 2021

Cerpen : Mungkinkah Kesedihan Membuat Orang Sedikit Lebih Gila? karya Justang Zealotous

Cerpen : Mungkinkah Kesedihan Membuat Orang Sedikit Lebih Gila? karya Justang Zealotous
 
[Dimuat harian FAJAR Makassar, edisi Minggu, 07 Maret 2021]

Kami benar-benar terpukul. Ibu yang beberapa bulan terakhir ini bolak-balik ke rumah sakit karena pernyakit gulanya meradang sampai-sampai kami kebingungan mencari biaya pengobatannya, justru bapak yang dijemput ajal. Bukan kami mengharapkan ibu yang seharusnya lebih dulu diambil Izrail, tapi kenapa bapak yang sehat yang cuma mengeluh sakit punggung malamnya, pas pagi dia sudah tak lagi bernapas.

Aku yang pertama kali menyadari kematian bapak ketika ibu yang sedang memasak di tengah sakitnya memintaku untuk membangunkan bapak. “Kasih bangun’I bapakmu, Rohim! Tidur terusji saja nakerja.” Dan ketika aku mendatangi bapak di kamarnya, wajahnya sudah pucat pasi. Aku mencoba menggoyang-goyangkan badannya, tidak ada tanggapan. Segera saja aku merasa ada yang aneh pada bapak. Kuraih lengannya, kucek nadinya, hampa. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan.

Aku langsung meneriaki semua orang di rumah. Kuteriaki ibu, kuteriaku Mashun, kakakku yang sedang mandi di sumur belakang rumah, kuteriaki Misbah, kakak perempuanku yang juga membantu ibu memasak di kolong rumah dengan kayu bakar. Tak cukup lama, mereka sudah berdatangan dengan wajah penuh tanya.

“Tidak adami bapak…” hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku dengan suara tertahan-tahan, dengan sedusedanku, ketika mereka bertanya. 

Misbah, jelas, sontak menangis menjerit seraya menggerak-gerakkan badan bapak seolah tak percaya bapak benar-benar telah berpulang. Begitu pula Mashun yang sedikit telat datangnya langsung tersengut-sengut sambil meninju dinding kayu rumah kami.

Sesuatu yang tidak kumengerti, aku tidak melihat air mata yang keluar dari mata ibu yang keriput. Dia juga tidak menjerit. Dia hanya membatu di tempatnya sambil menatap bapak yang sudah tiada dengan air muka yang datar. Lantas, sesaat kemudian, dia bergerak mendekat. Dia meraih sarung di atas lemari, lalu menutup tubuh bapak dengan sarung itu, lagi, dengan air muka yang datar.

Dia hanya berkata dengan sangat pelannya. “Tanya’I tetangga! Tanya’I saudara-saudaranya bapakmu! Tanya’I keluargata yang jauh!”

Aku percaya ibu jauh lebih bersedih dibanding kami, anak-anaknya. Kehilangan pria yang puluhan tahun tidur bersamanya pasti membuat hatinya tersayat. Namun, kesedihan yang dimiliki ibu barangkali terlalu besar sehingga tidak cukup sekadar air mata. Dia butuh luapan lain, tapi itu masih belum bisa diterima otaknya sehingga dia hanya membungkam.

***

Para pelayat dari tetangga-tetangga telah berdatangan, berpakaian hitam-hitam, menunjukkan perasaan duka. Ada yang menyesaki rumah panggung kami, ada juga yang terpaksa duduk di kolong rumah karena kecilnya rumah panggung kami.

Sementara itu, ibu belum kembali. Dia keluar bersama Misbah. Aku tidak tahu ke mana mereka pergi. Aku hanya melihat mereka meninggalkan rumah saat satu per satu para pelayat itu datang. Mashun juga tidak tahu saat kutanya soal kepergian mereka. Entah. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Mungkinkah kesedihan bisa membuat orang sedikit lebih gila?

Setelah rumah kami penuh dengan pelayat, ibu akhirnya datang bersama Misbah. Aku yang kebetulan duduk di beranda rumah panggung kami bisa melihat mereka dengan jelas datang dari arah selatan dengan tergesa-gesa.

“Dari manaki, Kak, sama ibu?” tanyaku ketika Misbah sudah naik. Aku tak mungkin menanyai ibu yang tampak linglung, sehingga mencari jawaban melalui Misbah ialah jalan terbaik.

“Rumahnya Pak Bahrun.”

“Mau apa?”

“Najual ibu cincinnya. Sudah kularang, tapi ibu maksa. Tidak mungkin juga kubiarkan ibu pergi sendiri. Lagi tidak bagus kondisinya.”

Aku tak bisa menyembunyikan perasaan terkejutku. Bagaimana tidak, cincin itu sudah kami perjuangkan agar tidak sampai dijual, tapi nyatanya akan berakhir seperti ini. Padahal, aku masih ingat bapak yang sangat kekurangan terpaksa menjual satu-satunya warisan dari almarhum kakek, yaitu sepetak sawah di Letta, yang penting bukan cincin itu yang terjual.

“Itu cincin yang Bapak belikan untuk ibumu saat kami menikah. Jangan jual! Tidak adami kenangan lain yang Bapak simpan buat ibumu selain itu cincin,” terang bapak pada kami ketika ibu terbaring di rumah sakit dan kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan saat itu, Mashun terpaksa berhenti kuliah dan memilih ikut mengambil padi seperti bapak, Misbah yang sedang merantau terpaksa pulang. Aku juga ingin berhenti sekolah, tapi bapak melarang. “Cukupmi Bapak yang bodoh,” katanya.

Bapak pun menjual sepetak sawah itu demi biaya pengobatan ibu, pun membayar hutang-hutang yang masih tersisa waktu menguliahkan Mashun, meski tak sepenuhnya hutang kami lunas.

Mashun yang akhirnya mendengar kalau ibu menjual cincin itu ikut bertanya-tanya sampai aku, Mashun, juga Misbah berdebat di samping jasad bapak, sampai kemudian ibu datang menengahi.

“Mukira mati tidak butuh biaya? Proses pemakaman bapakmu saja butuh biaya besar. Mana lagi kita harus masak banyak untuk kasih makan keluargamu yang dari Pinrang kalau mereka datang. Belumpi lagi tujuh hariannya, empat puluh hariannya. Di manako dapat uang?” Sekian lama, ibu akhirnya menangis tersedu-sedu.

Kami diam. Melihat ibu terkulai hingga jatuh terduduk di samping jasad bapak membuat kami teriris. Ditambah lagi pandangan heran para pelayat menggores hati kami.

“Kalau matika juga, masih mupikirkah itu cincin?” lanjut ibu yang setelahnya tiba-tiba merasa sesak. Dia menekan dadanya kuat-kuat sampai kemudian dia ambruk di samping jasad bapak. Kami histeris. Kami meraih tubuhnya yang amat lemah. Hingga kami sadar, tidak ada lagi kehidupan di sana. (*)

Bungi, 03-03-21