Minggu, 08 Juli 2018

Cerpen: Perempuan Bermata Sayu di Pelabuhan Bajoe karya Justang Zealotous

Cerpen: Perempuan Bermata Sayu di Pelabuhan Bajoe karya Justang Zealotous
[Dimuat di FAJAR Makassar edisi Minggu, 8 Juli 2018]

Sudah sebelas tahun Erwing bekerja sebagai penjaga palang di gerbang Pelabuhan Bajoe, baru malam itu dia merasa bulu kuduknya berdiri tak karuan. Bukan karena cuaca yang memang sangat dingin ditambah sapuan angin dari laut, tapi karena ada sesuatu yang mengalihkan pandangannya.

Seorang perempuan bermata sayu berkali-kali dilihatnya sedang berdiri di dekat pembatas jalan. Perempuan itu berambut panjang dan cukup manis kalau dilihat sekilas. Air muka perempuan itu datar dengan bibir putih memucat. Setiap kali Erwing memandanginya, perempuan itu seakan-akan memanggilnya.

Erwing langsung berasa ingin pulang. Tapi bagaimana caranya? Dia sendirian. Apalagi hari itu dia kena sif malam. Dia harus kerja mulai jam 8 malam sampai jam 8 pagi, sementara jam dinding yang menggantung di pos jaga masih menunjukkan pukul 11. Jika dia pulang saat itu juga, manager pasti akan langsung memecatnya karena pintu palang tidak mungkin ditinggalkan dalam keadaan tanpa penjagaan.

Lelaki berkepala plontos itu terpaksa menenangkan dirinya dan menganggap perempuan yang dilihatnya hanya ilusi belaka. Dia pun memutuskan untuk menuangkan kopi panas ke cangkirnya. “Mungkin kopi bisa membuatku tenang,” katanya.

Sebuah truk kemudian melaju ke arahnya, dan sontak berhenti tepat di dekat palang. Erwing segera memberikan karcis pada sang sopir truk, lalu dibalas dengan uang 12 ribu. Erwing menarik tukas dan membuat palang itu naik perlahan sehingga truk bisa masuk ke area pelabuhan.

Ketika truk berpaling, Erwing kembali dikagetkan dengan kehadiran perempuan bermata sayu. Perempuan itu menatapnya tanpa sedikit pun berkedip. Jantung Erwing hampir loncat dibuatnya. Dia kemudian memicingkan mata dan kembali memastikan kalau pandangannya tidak salah, nyatanya perempuan bermata sayu masih berdiri di tempatnya, di dekat pembatas jalan.

Erwin bergidik, tapi juga penasaran. Dia balik menatap perempuan itu dan mencoba meneriakinya, “Apa dikerja di situ, Ndi?” tanyanya.

Perempuan itu membeku. Dia tidak merespons dan tidak pula beranjak dari tempatnya. Erwing makin bingung. Entah apa yang benar-benar merasuk dalam dirinya, Erwing tiba-tiba mendekati perempuan itu. Langkahnya pelan dan sedikit ragu-ragu, tapi dia terus saja melangkah.

Semakin dekat. Namun sebuah avansa hitam membuat langkahnya harus terhenti. Dia berbalik dan mendekati si sopir. Seperti tadi, dia memberikan sopir itu secarik karcis yang kemudian dibalasnya juga dengan uang 12 ribu. Sang sopir tersenyum lantas melaju. Perginya avansa hitam membuat Erwing kembali menoleh ke perempuan itu. Sial. Perempuan bermata sayu sudah menghilang.

Erwing mencari-cari, tapi perempuan itu tidak juga terlihat
.
Erwing terpaksa kembali ke tempat duduknya, dekat dari pos jaga. Betapa terkejutnya Erwing, perempuan bermata sayu sudah berdiri tepat di sebelahnnya ketika dia duduk sembari menikmati secangkir kopi panas. Terang saja, lelaki itu langsung lari tunggang langgang. Tidak peduli lagi kalau manajer akan memecatnya sebab yang dipikirkannya saat itu bagaimana dia harus lari secepat mungkin, sejauh mungkin.

***

Sejak kejadian malam itu, Erwing meringkuk di kamarnya berhari-hari. Suhu badannya makin lama makin naik. Istirnya, Rahayu sudah mengobatinya dengan berbagai ramuan herbal tapi dia tidak juga membaik. Erwing pernah dilarikan ke rumah sakit, bermalam tiga hari, setelah itu dia kembali dipulangkan karena Rahayu tidak sanggup membayar iuran yang kian membengkak.

“Apa mi yang mau kita lakukan, Daeng? Hampir habis mi juga uang,” keluh Rahayu di samping suaminya yang menggigil hebat meskipun sudah berselimut sarung berlapis-lapis. Erwing tidak menjawab, bibirnya hanya terus menggelatuk.

“Nanti kupanggil La Dompe, Daeng. Semoga tidak nakasih bayar mahalki.” Rahayu mulai terisak. “Tinggal dia mi pilihan terakhirta.”

Malamnya, La Dompe benar-benar datang. Lelaki tua beruban dengan gigi hampir semua sudah tercabut itu untungnya cuma mau dibayar rokok dan sokko. Dia pun segera mengobati Erwing. Setelah menyentuh kening Erwing seraya mulutnya komat kamit, La Dompe menghampiri Rahayu. “Dari mana saja suamimu sebelum sakit begini?” tanyanya.

“Kerja di Pelabuhan Bajoe, Puang. Waktu itu pulang cepat karena lihat katanya perempuan yang panjang sekali rambutnnya. Sejak begitumi langsung sakit.” Rahayu menjelaskan.

La Dompe sejenak terdiam. Dia memandangi langit-langit. Sekejap dia kembali menatap Rahayu, lalu berucap. “Kalian pergi buang telur besok di sana. Bawa juga ayam untuk dilepaskan. Nanti saya temani.”

Rahayu menurut saja. Dia pun mengangguk lemah. Esoknya, mereka pergi ke Pelabuhan Bajoe. Erwing juga pergi meskipun badannya masih sangat loyo. Sesampainya mereka di sana, mereka mulai membuang telur dengan dibantu La Dompe. Lelaki tua itu berkomat kamit sebelum melemparkan telur itu ke laut. Selanjutnya, La Dompe berkomat kami lagi sebelum melepaskan seekor ayam jantan di area pelabuhan.

Ritual itu selesai tanpa hambatan. Mereka pulang ketika langit mulai menghitam.

Hari-hari setelahnya, Erwing sungguh-sungguh sembuh. Lelaki plontos itu terlihat bugar sebugar-bugarnya. Sayangnya, dia sudah tidak lagi bekerja sebagai penjaga palang di Pelabuhan Bajoe karena manajer ternyata benar-benar memecatnya.

“Tidak masalah, Daeng. Banyak ji pekerjaan yang lebih baik. Rezeki juga sudah diatur Tuhan.” Rahayu menguatkan suaminya. Dan Erwing semringah.

Erwing lalu pergi. Dia mengambil sepeda motornya, lantas melaju dengan sangat kencang. Erwin kemudian berhenti tepat di dekat palang pelabuhan. Selepas memarkirkan motornya, dia pun berjalan tanpa mengindahkan mantan rekannya yang menatapnya bingung. Lelaki itu menuju pembatas jalan, dan mencoba naik.

“Mauki apa, Wing?” tanya mantan rekannya heran.

Sebelum terjun ke laut, Erwing berteriak, “Mauka ketemu istriku.” (*)

Watampone, 5/7/18

Rabu, 28 Maret 2018

Cerpen: Pemimpin Rakyat karya Justang Zealotous

Cerpen: Pemimpin Rakyat karya Justang Zealotous
[Dimuat di Banjarmasin Post edisi Minggu, 25 Maret 2018]

Tubuhnya lunglai. Lebam memenuhi hampir sekujur tubuh perempuan yang setengah telanjang akibat pakaian yang koyak itu. Ia berusaha bergerak, tapi sulit. Ia berusaha bersuara, tapi yang terdengar hanya serupa embusan angin dari napas yang semakin sesak. Ketika ia ditemukan, lelakinya hanya mampu menjerit, menggusar, dan mengutuk siapa saja yang tega membuat perempuan itu yang kini di ambang kematian.

***

Pagi datang mengelus lelaki itu ketika sebuah telepon mendarat di kupingnya yang mengharuskan ia berkunjung ke Pasar Rakyat. Ia pun meletakkan secangkir kopi yang baru saja ia tandaskan ke atas meja.

Perempuannya mengerling, "Pulang kemalaman lagi, Daeng?"

"Semoga tidak." Lelaki itu mendorong kursinya ke belakang, kemudian berdiri. Ia mengusap kaus putihnya yang berkerah dan meraih topi hitam bertuliskan NH di sisi depannya. "Kamu ikut kan, istriku?"

"Kurang enak badan, Daeng."

"Kalau begitu, istirahatlah, istriku. Kamu pasti capek. Lagi pula Pasar Rakyat itu becek dan bau. Kamu mungkin tidak akan tahan." Ia lantas beranjak bersama beberapa ajudannya yang berbadan tegap. Ia meninggalkan istrinya di rumah dengan beberapa pekerja yang menemaninya. Pembantu, tukang kebun, hingga satpam. Mereka punya anak, satu-satunya, tapi ia sedang kuliah di Bandung. Sehingga tidak ada alasan untuk lelaki itu merasakan khawatir yang berlebih.

***

Pak Nasir dengan semangat juang istrinya, Bu Faridah, mencalonkan diri sebagai bupati dalam lima tahun mendatang. Ia berniat menggeser posisi bupati lama yang sudah duduk selama dua periode. Akibatnya, beberapa bulan sebelum pencalonan resmi, Pak Nasir mulai melakukan kampanye ke mana-mana, mendengungkan inisial NH dari nama lengkapnya Nasir Hasir ke berbagai penjuru kampung. Target utama Pak Nasir memang kalangan bawah, sebab kemenangan itu lebih mudah diperoleh dari bawah.

Selama kampanye, Pak Nasir berusaha membangun jati diri sebagai pemimpin yang merakyat. Ia rajin berkunjung ke tempat-tempat kumuh, menghadiri acara-acara rakyat, menggelar perjamuan dengan mengundang para warga, juga mengunjungi berbagai acara keagamaan. Ketika maulid, ia datang. Ketika natalan, ia pun tak sungkan. Pak Nasir juga bertandang ke panti asuhan. Bertemu dengan orang-orang yang ditinggalkan keluarganya. Kemudian, dia akan bersorai di depan anak-anak panti dan tentu saja para orang dewasa yang hadir di situ, kalau ia akan menyejahterakan nasib mereka. Orang-orang lalu bertepuk tangan dan berteriak menyebut inisial NH. Sebelum pulang, Pak Nasir membagikan kaus berwarna kuning yang memajang fotonya di bagian depan besar-besar.

"Orang-orang makin mencintaimu, Daeng. Aku yakin bupati lama itu akan segera lengser," kata Bu Faridah saat menjelang tidur.

Pak Nasir tertawa. Tawa yang cukup nyaring. "Hahah aku harap kamu tidak cemburu, istriku."

"Untuk apa cemburu sama cinta yang ada maunya, haha." Keduanya tertawa, kemudian saling berpelukan, saling memagut, dan tertidur.

***

Pak Nasir tiba di Pasar Minggu dengan sambutan dari orang-orang yang berkerumun. Mereka ingin menjabat tangan calon bupati baru yang dikenal merakyat, atau sekadar menyentuh kaus putihnya yang berkerah. Orang-orang yang histeris itu dibatasi oleh para ajudan Pak Nasir yang menjaga dari sisi kanan, kiri, dan belakang.

Seperti selalu, senyum tak pernah ketinggalan di bibir Pak Nasir. Ia bersorai dan sesekali menyapa para penjual dan pembeli yang dilewatinya.

Ketika berkeliling, seorang penjual baju tiba-tiba bercerita padanya, "Sepi nih, Pak. Sehari bahkan tidak ada pembeli sama sekali."

Senyum Pak Nasir belum hilang, lalu ia berkata, "Sepertinya kita perlu meremajakan pasar ini biar lebih ramai pengunjung." Pak Nasir memperhatikan celana hitamnya yang di bagian bawah sudah dipenuhi lumpur. Orang-orang pun mengiringi pernyataan Pak Nasir dengan berteriak hore dan inisial nama Pak Nasir. NH. NH. NH.

Di tengah kampanye, Pak Nasir mendadak mendapat telepon dari rumah. Ia pun mengangkatnya, barangkali dari istrinya. Ketika tersambung, suara yang terdengar malah suara pembantu. Suara yang timbul tenggelam. Pak Nasir jadi bingung. Ia berusaha bertanya, apa yang sedang terjadi, suara tangis yang malah ia dengar.

"Kita harus pulang," kata Pak Nasir pada ajudannya dengan sedikit berbisik. Sesekali ia melempar senyum pada orang-orang agar semuanya terlihat baik-baik saja. Lalu, ia pamit pergi.

Buru-buru Pak Nasir meninggalkan Pasar Minggu. Ia khawatir dengan kondisi istrinya. Setelah menempuh jarak tempuh yang hanya lima belas menit, ia pun berlari masuk setelah satpam tidak terlihat dan suara jeritan yang langsung menyambutnya. Saat di dalam, rumah tampak kosong. Dia berlari ke kamar, istrinya tidak di sana. Suara jeritan terdengar lagi, sepertinya di halaman belakang. Pak Nasir pun mengambil langkah seribu. Tepat. Istrinya sudah terbaring di sana dengan tubuh setengah telanjang dan lebam di mana-mana.

"Siapa yang melakukan ini?"

Bibir Bu Faridah berusaha bergerak, tapi yang terdengar hanya embusan angin. Pak Nasir lantas memeluk istrinya sambil terisak. Lama sekali. Barulah ia sadar istrinya sudah meregang nyawa.

Pak Nasir masih tersedu-sedu ketika salah satu ajudannya menyeret seseorang ke hadapannya yang ditengarai sebagai tersangka, berdasarkan kesaksian pembantu, sementara satpam juga sudah ia bunuh. Orang itu ternyata tukang kebun Pak Nasir. Pak Nasir sontak murka. Ia berdiri dan menghajar bapak tua itu.

"Kenapa kau melakukan ini pada istriku?" geram Pak Nasir.

Dengan napas tersendat-sendat, tukang kebun itu menjawab, "Aku bahkan bisa melakukan ini padamu, tapi aku cukup menikmati istrimu, Pak Nasir." Mata Pak Nasir memelotot mendengar pernyataan tukang kebunnya, dan ia hajar lagi. Sedetik kemudian, tukang kebun itu kembali berbicara, "Aku muak dengan tingkahmu sama kami, Pak Nasir. Kamu lembut di luar sana, tapi kamu kasari kami di sini. Aku bahkan belum kau gaji dua bulan, Pak."

Pak Nasir tertegun. Ia menatap tukang kebun yang dari mulutnya meleleh darah yang anyir. Usai itu, ia tiba-tiba merasakan tubuhnya seringan kapas. Dan ia tumbang. Tidak ada yang tahu kemudian, Pak Nasir masih mencalonkan atau tidak setelah kejadian itu. (*)

Watampone, 7/1/18

Sabtu, 10 Februari 2018

Cerpen: Karma Sirawu Sulo karya Justang Zealotous

Cerpen: Karma Sirawu Sulo karya Justang Zealotous
[Dimuat di Harian FAJAR Makassar edisi Minggu, 11 Februari 2018]

Saya tidak pernah menyangka akan berdebat dengan Ambo. Diiringi tangisan yang datang dari langit yang menurunkan air serupa jarum-jarum sehingga genting rumah seolah ditusuk-tusuk. Setelah sejak lama hingga usia saya mencapai dua puluh empat tahun, rumah kami selalu diramaikan dengan suara bernada rendah, kalau pun bernada tinggi hanya saat Ambo berteriak karena tulang betisnya bergeser sebab terjatuh dari pohon kelapa atau Indo yang berteriak ketika melihat kecoa membuntutinya di kamar mandi, lalu hari ini tiba-tiba saja rumah sudah berubah menjadi medan peperangan.

Perdebatan saya dengan Ambo dimulai sepulang Ambo dari rumah Sanro, ketua adat yang rambutnya beruban dan matanya mulai rabun dengan ingatan yang tak lagi jernih, kemudian membisiki Indo  kalau Sirawu Sulo akan dilaksanakan tahun ini. Saya yang tentu mendengarnya karena duduk tepat di belakang Indo angkat bicara.

"Serius, Ambo? Baru dua tahun kemarin dilaksanakan, tahun ini dilaksanakan lagi?" heran saya. Ambo sontak menatap saya tajam. Matanya seperti panah yang bersiap menembus mata saya.

"Tahu apa? Ambo sudah berkunjung ke rumah Sanro, dan dia sendiri bilang begitu."

Saya masih tidak percaya. Sirawu Sulo selalu dilaksanakan tiga tahun sekali, meski dulu lima tahun sekali tapi politik merembesi kampung diubahlah jadi tiga tahun sekali agar sekalian bahan promosi untuk Pongka, tapi kini malah diubah lagi. Mentang-mentang Ambo calon wakil rakyat. Ini pelanggaran adat.

Saya tahu Ambolah yang senantiasa berhubungan dengan Sanro untuk diinformasikan pada Kepala Desa, kemudian diturunkan ke masyarakat mengenai tanggal baik Sirawu Sulo dilaksanakan. Ketika tadi pagi, dia tiba-tiba bertandang ke rumah Sanro, dan pulangnya malah mengabarkan hal yang tak masuk akal.

"Adampengi'ka, Ambo, betulji Sanro bilang begitu? Bukannya tahun depan baru dilaksanakan?"

"Kurang ajar. Kaukira Ambo berbohong?" Suara Ambo meninggi, kemudian tampaklah hujan turun seperti jarum-jarum dari balik jendela yang selalu terbuka. "Ini sudah perintah adat. Jika kita tidak laksanakan, kampung bisa kena karma."

Kami memang percaya semua yang keluar dari bibir Sanro merupakan kalimat yang datang dari Tuhan. Kami harus meyakini. Bilamana ada yang mengingkar dan tidak melaksanakannya, kampung kami akan mendapatkan musibah berupa kematian berturut-turut, seolah diracuni alam dan kekuasaan.

"Apa seharusnya Ambo konfirmasi ulang sama Sanro? Jangan sampai Sanro salah ingat. Dia sudah pikun, Ambo." Saya membalas Ambo dengan nada sehalus mungkin. Bagaimanapun, saya seorang anak dan dia seorang bapak. Lancang saya meninggikan suara di hadapan beliau.

Tapi Ambo tak terima. Dia menganggap saya sudah melawan orang tua.

Ambo pun meninggalkan saya setelah gemuruh yang terus dia lontarkan, seperti gemuruh yang enggan berhenti meronta di langit sana. Hujan masih turun. Jalan yang batu dan tanah semakin basah.

***

Indo tampak sibuk menyiapkan nasi ketan dan telur. Itu sesajen untuk ritual Mabbule Manu. Setelah segala rangkaian adat dilaksanakan seperti Mabbepa Pitu atau membuat tujuh jenis kue sebagai syarat wajib yang harus dilakukan semua masyarakat Pongka, memainkan permainan rakyat yang sudah diganti dengan pertandingan sepak bola sebagai wujud perkembangan zaman yang dilangsungkan seminggu penuh dan finalnya dilakukan tadi sore, kini puncak Sirawu Sulo akan dilaksanakan dengan diawali Mabbule Manu, mengarak ayam dari rumah Sudirman Mappangara, sanro baru setelah kematian Dajange, sanro lama yang kata Ambo sudah mengatakan kalau Sirawu Sulo harus dilaksanakan tahun ini.

Dajange mati dua hari setelah gemuruh datang di rumah saya kala itu. Banyak menduga kalau dia mati karena usianya memang sudah sangat lapuk. Beberapa orang sedikit menyayangkan, termasuk saya, sebab kami belum sempat menanyakan kebenaran perihal ucapan Ambo. Tapi karena Dajange sudah mati, dan semua orang kadung percaya, Sirawu Sulo tetap dilaksanakan untuk menghindari karma dengan mengusung sanro baru yang merupakan cucu ketiga Dajange sendiri.

"Saya masih tidak percaya kalau Sirawu Sulo berlangsung tahun ini, Ndo. Saya takut kalau itu cuma akal-akalan Ambo biar bisa sekalian kampanye. Mumpung Pongka lagi ramai dan ada soto kuda di setiap rumah," kataku sehabis melayat dari rumah Supriadi. Lelaki bertubuh tambun itu tiba-tiba saja meninggal padahal kata anaknya, dia masih kuat pagi hari dan masih sempat memakan satu mangkuk soto kuda.

"Ushh, kau ini. Ambomu tidak mungkin seperti itu. Lebih baik kau bantu Indo membereskan rumah. Keluargamu dari Bone kota bakal datang. Jangan sampai rumah kita kotor pas mereka masuk."
Saya mengangguk dan segera melupakan pikiran yang mengganjal. Barangkali Dajange menginginkan agar silaturahmi warga semakin erat dengan berlangsungnya Sirawu Sulo yang lebih awal.

Semakin langit diselimuti malam, Pongka semakin meriah. Warga datang dari berbagai arah, baik warga kampung maupun luar kampung. Sanro beserta rombongan mulai mengarak ayam dengan berjalan dari berbagai tempat ke Lapangan Mabbaranie, tempat Sirawu Sulo berlangsung. Orang-orang sudah siap dengan daun kelapa yang sudah diikat untuk kemudian dibakar, terus dilempar-dilemparkan sehingga terjadi perang api. Tampak Pak Bupati duduk di dekat jalan masuk menuju lapangan demi menyambut Sanro nantinya.

Tiba-tiba saya mendapat panggilan telepon dari sepupu. Indo meninggal. Katanya, Indo meninggal setelah jatuh pingsan sehabis menyantap soto kuda, persis seperti kematian Supriadi, atau tiga kematian lainnya yang sebenarnya sempat saya dengarkan sepanjang hari ini. Kenapa kematian berturut-turut bisa terjadi? Saya langsung berlari mendekati Ambo yang berdiri di sebelah Kepala Desa dan Pak Bupati. Saya ingin memberitahu soal kematian Indo, dan karma yang mungkin datang karena Sirawu Sulo. (*)

Watampone, 4/2/18

Ambo: Bapak
Indo: Ibu
Adampengi’ka: Maafkan saya

JUSTANG ZEALOTOUS. Seorang guru Bahasa Indonesia dan instruktur Bahasa Inggris. Anggota FLP (Forum Lingkar Pena) Cabang Bone.