Kamis, 24 Desember 2015

Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, BUKAN Merayakan

Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, BUKAN MerayakanSelamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ingat, kita "memperingati", bukan "merayakan". Hal ini banyak yang membuat kesalahapahaman di masyarakat. Hmhm, hari lahir Nabi saja dirayakan, masa kita nggak. Pertanyaannya? Emang kamu nabi? Permasalahnnya, sekali lagi kita tidak merayakan tapi memperingati.

Emang beda? Ya tentu beda.
Pada kata dasar saja sudah sangat beda.
"Merayakan", dari kata dasar "raya". Sementara "memperingati", dari kata dasar "ingat". Jadi sebenarnya, saat ini kita sedang diminta untuk mengingat bahwa pada hari ini berabad-abad lalu telah dilahirkan sesosok AL-AMIN (yang dipercaya), yang patut kita teladani.

Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد النبي‎, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arabberarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. (Wikipedia, 2015)

Jadi, dengan adanya peringatan ini, se'enggak'nya kita telah mengingat kembali hari lahir Nabi, berikut keteladanannya. Kalau tidak ada macam ini, toh mungkin kalian sudah lupa, masa lalu bareng mantan kalian saja cepat gitu dilupain, eh.

male - Maulid Nabi Muhammad

Kalau di daerah saya, setiap masjid biasanya yang memperingati Maulid Nabi dengan meminta masyarakat untuk membawa makanan yang disebut "male" dengan berisi telur rebus, nasi ketan, bawang goreng, dan dihias dengan bunga kertas. Tujuan utamanya selain membangun silaturahim, juga untuk saling berbagi.

Bagaimana dengan daerah kalian?

Senin, 02 November 2015

Masa Anak Hampir Punah

Masa Anak Hampir Punah
Masa anak adalah masa paling membahagiakan. Kata orang, masa anak ialah masa di mana masalah terberat hanya PR Matematika. Benar juga, soalnya saat itu anak tidak ditekankan dengan berbagai problematika yang paling sering dialami orang dewasa. Tepatnya, itu memang bukan urusan anak-anak. Tidak jarang, banyak dari kita yang ingin kembali ke masa itu atau paling tidak diperpanjang masanya.
Kebahagiaan anak-anak bisa dilihat saat mereka berlarian di taman bersama teman sebaya sambil sorak sorai ceria, bernyanyi dengan riang, lompat-lompat, main perosotan, jungkat jungkit, dan kegiatan mengasyikkan lainnya. Tidak ada beban yang membuat mereka tertekan. Anak-anak tidak perlu merasakan penatnya dunia.
Sayangnya, akibat perkembangan zaman, masa anak kian tergerus. Banyak anak yang seperti matang sebelum waktunya. Mereka cenderung berpikir berat seperti orang dewasa. Tidak menutup kemungkinan, PR Matematika bukan lagi satu-satunya masalah terberat bagi anak. Bahkan kini, mulai jarang kita lihat anak-anak berkumpul di taman, berlarian sorak sorai, bernyanyi, atau lainnya. Anak-anak lebih suka di rumah, nonton TV, atau asyik dengan gadget masing-masing.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2013, jumlah pekerja anak di sektor pertanian dan perkebunan mencapai 38,9 juta anak. Sementara jumlah pekerja di sektor konstruksi, dengan pekerjaan berat seperti pekerja bahan bangunan, mencapai 6,3 juta anak. Jumlah pekerja ini naik menjadi 7,2 juta pada Agustus 2014. Anak-anak juga banyak yang dijadikan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Selain permasalahan tersebut, anak-anak banyak mengalami konflik batin, seperti kekerasan fisik dan bahkan pelecehan seksual. Jadi, ini mengindikasikan bahwa dunia anak kian berat.
Lagu Anak Ikutan Punah
Masih ingat lagu “Lihat Kebunku”, "Balonku", "Burung Kakak Tua", atau "Pelangi-pelangi”? Liriknya yang sederhana membuat lagu anak masa itu dikenal hingga sekarang. Bukan cuma lirik, tapi makna yang terkandung di dalam setiap baitnya menjadi kunci tersendiri bagi anak.
Penyanyi anak-anak bermunculan. Bobby putra Muchsin Alatas dan Titik Sandhora, Chicha Koeswoyo sebagai contoh penyanyi anak-anak. Lalu generasi awal 90-an ada Ebiem Ngesti, Melissa yang terkenal dengan "Abang Tukang Basko". Menyusul di generasi akhir 90-an ada Enno Lerian, Leoni, Joshua, Trio Kwek Kwek dan lain-lain. Selanjutnya pada awal tahun 2000-an, kita kenal penyanyi anak seperti Tasya dan Sherina. Setelah itu, masa lagu anak pun redup.
Kini telinga anak-anak banyak diperdengarkan lagu-lagu yang dibawakan Noah, Ungu, Coboy Junior, atau Cherrybelle. Lagu tersebut memang begitu asyik didengar sehingga tidak jarang anak-anak mampu mengingat lirik per liriknya dengan cepat. Bukan masalah apa, tapi isi lagu yang kebanyakan tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang seharusnya bukan komsumsi anak-anak.
Banyak penyanyi cilik bermunculan, tapi tetap saja lagu yang dibawakan lebih untuk dewasa. Untung saja, di awal tahun 2015, kemunculan Romaria bersama "Malu Sama Kucing"-nya yang begitu menggemaskan, dengan lirik yang sederhana namun dapat mewakili keceriaan anak untuk zaman sekarang. Tapi, jika kondisi yang kian memperihatinkan itu dengan produksi lagu anak kian menipis. Maka, tidak menutup kemungkinan, lagu anak pun akan segera punah.
Tontonan Anak Kok Begitu?
Jika dulu kita mengenal film "Joshua oh Joshua" atau "Petualangan Sherina", maka sekarang film dengan gaya percintaan masa kini menjadi tontonan paling populer. Banyak juga sinetron, salah satunya "Ganteng-Ganteng Serigala", yang ternyata menjadi konsumsi anak-anak, padahal alur ceritanya masih terlalu berat.
Film yang paling terkenal untuk anak, seperti "Laskar Pelangi" memang menjadi harapan besar bagi tontonan yang memang untuk anak. Namun, karena komsumsi anak pada film dengan banyak unsur percintaan bahkan kekerasan membuat psikologi anak juga semakin berkurang. Banyak anak zaman sekarang telah mengenal pacaran. Bahkan, ada beberapa kasus seksual yang menyerang anak. Ada juga yang dengan entengnya memperagakan tindakan kekerasan seperti yang ditonton di film-film. Jika ini diteruskan tanpa pengawasan ketat, maka masa anak benar-benar akan punah.
Permainan Semakin Canggih, Anak Semakin Ringkih
Masih ingatkah kalian dengan permainan waktu anak-anak? Petak umpet, kelereng, bekel, congklak, lompat tali, benteng, boi-boian, dan lain-lain. Permainan dengan biaya sedikit atau bahkan tanpa biaya, namun begitu edukatif bagi anak-anak. Namun sayang, permainan itu sudah jarang dimainkan dan tergusur dengan hadirnya PSP, Game Boy, atau iPad.
Permainan yang membutuhkan biaya tidak sedikit itu memang begitu mudah dan asyik untuk dimainkan, tidak jarang membuat lupa waktu. Namun, dampaknya bagi anak juga sangat besar. Anak-anak yang cenderung stay di rumah, dengan hanya memainkan jempol mereka, membuat anak menjadi antisosial karena hubungan dengan dunia luar juga kian berkurang. Selain itu, permainan tersebut dapat membuat anak menjadi pribadi pemalas, penyendiri, dan agresif.
Tren sepatu roda juga sedang menjangkiti anak-anak di kota Watampone dan beberapa kota lainnya. Banyak anak mengendarai sepatu roda di alun-alun, teras rumah, trotoar, bahkan di jalan raya. Tentu tren ini sedikit-banyaknya memberikan dampak yang luar biasa bagi anak. Postifnya, ini merupakan olahraga dan membuat anak lebih cekatan. Tapi, negatifnya, itu sangat berbahaya apalagi yang mengendarainya di jalan raya. Ada beberapa kejadian ketika saya berkendara di jalanan, tiba-tiba anak-anak melintas dengan sepatu rodanya, saya pun hampir menabrak, untungnya bisa menghindar. Jika kecelakaan itu sampai terjadi, siapa yang bakal disalahkan? Sebenarnya bagus, kalau diberikan arena yang mumpuni. Apalagi jika sudah dilatih sejak dini, maka akan memberikan prestasi yang memukau pada perlombaan yang biasa diadakan di luar. Jadi, tren itu tidak akan sia-sia.

Baiklah, kita tidak bisa menyalahkan zaman yang telah mengubah anak-anak. Apalagi harus memaksa anak zaman sekarang kembali ke zaman yang pernah kita hadapi dulu. Yang kita lakukan, terutama bagi orang tua, ialah memberikan pengawasan ketat dan perhatian yang lebih untuk tumbuh kembang anak. Lingkungan yang zona anak sehingga mampu mewadahi anak melewati masa tanpa beban yang berarti, agar masa anak tidak akan punah.

Minggu, 01 November 2015

Hidup Lebih Lama dengan Tidur Sedikit

Hidup Lebih Lama dengan Tidur Sedikit
Mengapa harus tidur? Ini sama saja dengan bertanya mengapa harus bernapas. Tidur adalah kegiatan paling mendasar bagi setiap makhluk hidup, ya, kecuali tumbuhan. Mengapa? Tumbuhan tidak memiliki otak dan ia tidak membutuhkan tidur. Tapi kita, sebagai makhluk berotak, tidur adalah pilihan yang tepat. Dengan tidur, bukan cuma tubuh yang beristirahat tapi otak juga akan melepas lelah setelah sepanjang hari berpikir tentang makanan, minuman, pekerjaan, pendidikan, bahkan anak orang.

Tahukah kamu? Belum, belum saya kasih tahu. Tidur bukan cuma untuk melepas lelah tapi tidur sudah jadi pola hidup atau kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Sama saja, pacaran bukan cuma untuk melepas status jomblo tapi sudah jadi adat istiadat yang mendarah daging. Makanya kalau tidak tidur, rasanya seperti tidak dengar kabar si dia dalam waktu seharian. Nyesek dan bikin mata merah.

Banyak yang berkata, entahlah kata siapa, agar tidur lebih maksimal maka diperlukan tidur selama delapan jam setiap hari. Jadi, silahkan hitung! Jika tidur di malam hari pada pukul 10 maka kemungkinan harus bangun adalah pada pukul 6. Jika itu ‘wajib’ dilakukan setiap hari. Loh, buat yang muslim shalatnya gimana dong? Buat yang pacaran, malming-nya gimana? Buat yang nikah, ah, kamu sudah tahu kan dia butuh apa.

Rupanya kata yang entah siapa itu salah besar. Tidur lebih sedikit, kira-kira enam jam itu lebih baik. Bahkan kata Pak Prof. Jim Horne, Director of the Sleep Research Centre, tidur lama mempercepat kematian. Seram. Keburu nggak bisa lamar dia. Sebaliknya, tidur yang lebih sedikit kemungkinan untuk hidup masih lama. Hal ini terjadi karena saat tidur agak lama, jantung akan kekuragan oksigen apalagi di malam hari.

Sebagai kisah, saat itu saya sangat lelah jadi saya memutuskan tidur pada siang hari pukul 10, tanpa diatur sebelumnya, rupanya saya bangun pada pukul 5.30 sore. Dada saya sangat sesak, kepala ikut pening, dan kehausan melanda. Hal terberat adalah saya tidak sempat angkat telepon kekasih karena ketiduran. Yah, saya jadi tidak mengerti mengapa setiap tidur sangat lama membuat dada dan kepala terasa diguncang gempa 7.5 SR. Pusing sekali. Ternyata oh ternyata, kebanyakan tidur adalah tersangkanya.

Selain resiko penyakit jantung, orang yang kebanyakan tidur maka akan membuat daya ingat otak semakin lemah. Tidak mau kan jadi kena block sama si dia karena lupa tanggal jadian, lupa tanggal pertama kali kencan, atau lupa kalau dia pacar kamu. Hahaha.

Tidak heran, mengapa Allah dalam dalam firmannya yang suci menyuruh kita untuk tidur sedikit dan bangun pada waktu malam untuk shalat atau berdoa. Bahkan Rasulullah, pada setiap pagi sebelum matahari terbit dia sudah terbangun sembari khusyuk merapalkan dzikir. Subhanallah, tulisan ini jadi lebih religius. Tapi, bukan itu saja. Tidur sedikit dan bangun di pagi hari akan menguatkan jantung. Jadi debaran jantung saat dekat sama si dia akan lebih terasa. Loh, kok malah balik bahas dia lagi?

Eh, tapi jangan salah paham dulu. Tidur sedikit bukan berarti kurang tidur. Soalnya kurang tidur juga membawa dampak buruk bagi kesehatan. Imsomnia misalnya, kekurangan tidur jadi sering berhalusinasi yang tidak-tidak. Awas, kalau sekarang lagi halusinasi buruk. Selain itu, emosi jadi akan meluap-luap, sistem kekebalan tubuh menurun, nyeri otot, otak malah melemah, dan dampak buruk lainnya.

Jadi, tidur ya sewajarnya saja. Tidak lama dan tidak kurang. Kira-kira tidur selama 6 jam itu sudah lebih baik. Terus biasakan bangun tengah malam biar bisa sekalian berdoa untuk kelangsungan hubungan kalian berdua. Hahaha. Selamat tidur! Eh.

Jumat, 10 Juli 2015

Teka-Teki Pembunuhan

Teka-Teki Pembunuhan
Oleh: Justang Zealotous

Pria berpakaian hitam putih dengan rambut dianyam ke atas dahi sedang berdiri di depan sidang. Dia diadili atas kasus pembunuhan kekasihnya sendiri, Martha.

Pria bernama Refan itu terus menyangkal akan tuduhan yang dilemparkan padanya. Bahwasanya bukan dia yang telah membunuh Martha, bahkan tak tahu menahu tentang pembunuhan tersebut.

“Kenapa kau terus menyangkal? Bukankah sudah pasti dari pesan singkat yang masuk tentang kau akan datang ke rumahnya pada pukul sepuluh malam,” tuduh sahabat Martha, juga sebagai saksi persidangan. Wanita rambut ikal panjang itu sengit mendakwa Refan. Dia terlalu kesal akan kematian sahabat karibnya.

“Benar. Aku memang mengirim pesan singkat itu. Tapi—“

“Tapi apa? Kau masih mau menyangkal?” potong sahabat Martha.

“Izinkan terdakwa menjelaskan terlebih dahulu!” seru hakim sidang.

Keringat Refan mulai bercucur pelan. Dia berkali-kali menelan ludah sambil sekali-kali bernapas pendek. Lalu, dia melanjutkan kembali ucapannya, “Tapi, aku terlambat datang karena tiba-tiba bensin motorku habis. Aku bingung harus beli di mana karena pom bensin lumayan jauh. Kucoba untuk kirim pesan ke teman yang rumahnya dekat dari pom bensin, tapi baterai ponselku habis—“

“Aishhh, palingan kamu mengada-ada tentang itu. Apa susahnya, sih, jujur?” potong sahabat Martha lagi. Dia kelewat emosi.

“Sssttt!” tegur hakim sidang, membuat sahabat Martha membisu.

Refan mendesah lagi, lalu melanjutkannya, “Kemudian aku mengecas ponsel. Setelah nyala kembali, segera kuhubungi Jefri, teman yang kumaksud tadi. Dia meng-iya-kan. Lama sekali dia datang, katanya macet. Aku pun berangkat ke rumah Martha. Tapi, aku yakin sudah sangat telat.”

“Kau tahu? Hasil penyelidikan menunjukkan sidik jarimu banyak ditemukan di pisau yang kaupakai menghilangkan nyawa sahabatku. Itu semua sudah jadi bukti,” tegas sahabat Martha lagi.

“Setelah tiba di rumahnya yang ternyata pukul sebelas. Aku sudah menemukan dia terkapar bersimbah darah di lantai dengan pisau sudah tertancap di pe—“

“Kau pasti penulis ulung, ya?” potong sahabat Martha lagi, “Karanganmu sangat luar biasa hingga buat tercengang. Tepat saat datang, memang sudah kulihat kau menggenggam pisau yang masih tertancap di perutnya. Dan, kau tahu juga? Aku masih punya saksi lagi.”

Saksi yang dimaksud langsung muncul setelah dipanggil.

“Bisa kaujelaskan apa yang kautahu soal kasus ini?” tanya hakim.

“Sekitar pukul 10.30, aku melihat seseorang dengan pakaian serba hitam melewati pagar rumah korban,” jelas saksi tersebut.

“Bisa dijelaskan ciri-cirinya yang lebih detail!” pinta hakim.

“Tinggi sekitar 175 cm, badan tidak kurus juga tidak gemuk, seperti penutup ninja yang menutupi wajahnya. Pakai motor skuter biru menyala.”

“Skuter biru?” kaget Refan. Matanya melotot tajam, mukanya memerah penuh emosi.

“Ada apa? Itu motor kamu? Hah?” tanya sahabat Martha penuh selidik.

“Bukan! Itu motor Jefri. Apa alasannya terlambat itu sebenarnya karena habis membunuh Martha? Sialan!” ungkap Refan.

Jefri segera dipanggil masuk ke ruang sidang. Kebetulan, dia sedang menemani Refan.

“Bukan! Bukan aku yang membunuhnya. Aku memang ingin membunuhnya tapi ternyata dia lebih dulu bunuh diri. Sebelumnya aku menguping, dia bunuh diri karena kesal setelah menemukan foto mesra Refan dengan Tina, sahabatnya sendiri,” jelas Jefri sambil mengap-mengap.

Sahabat Martha dan Refan langsung bertatap muka.

Kamis, 09 Juli 2015

Temukan Passion untuk Raih Kesuksesan

Temukan Passion untuk Raih Kesuksesan
Dalam acara Workshop and Training di GRACE (Greenfield Language College) kemarin (9/7/15) bersama Bunda Ariani, S.Pd., seorang teacher dan trainer yang sudah berpengalaman, kami sempat berbicara soal "passion".

What is Passion?

Apa itu passion? Dalam Bahasa Inggris, passion bermakna nafsu, keinginan besar, atau kegemaran. Passion juga bisa bermakna suatu hal yang dilakukan dengan cinta, penuh semangat, dan tanpa beban. Makna lain dari passion itu berarti suatu emosi yang kuat yang dimiliki oleh kita semua yang ketika dilakukan akan menimbulkan pekerjaan yang bermakna.

Why do You Need to Know Passion?

Kenapa harus tahu passion? Menurut Richard St. John, passion is lead to success. Passion itu memimpin kita menuju kesuksesan. Banyak orang di dunia ini yang telah 'tersesat' karena melakukan suatu pekerjaan tanpa mengikuti passion mereka. Maksudnya, pekerjaan yang mereka lakukan bertahun-tahun adalah karena tuntutan profesi dan mengejar materi, bukan yang datang secara 'ajaib' melalui hati mereka. Hingga banyak yang membuat orang menjadi stres saat merasa terbebani dengan pekerjaan mereka.

Ada suatu kisah, seorang chef wanita yang bekerja di hotel berbintang. Masakan chef itu enak dan digemari banyak orang. Gaji yang diperoleh juga begitu mumpuni. Suatu hari, dia tidak sengaja lewat di Bantar Gebang, yang penuh dengan anak jalanan. Dilihatnya beberapa anak yang sedang memulung di gunung sampah, ibu-ibu yang menggendong bayinya dengan sarung yang lusuh, pemuda-pemuda yang menenteng gitar klasik pun gendang untuk mengamen, hingga beberapa anak yang sedang melipat-lipat buku yang berserakan di jalan untuk dijadikan pesawat kertas.

Tiba-tiba, hati chef wanita itu tergerak. Dia menuju ke anak-anak yang sedang main pesawat-pesawatan. Lalu, dia iseng bertanya, "Kamu bisa baca buku ini?" Ditunjuknya salah satu buku bacaan yang tergeletak.

Anak yang ditanya menatap chef heran. "Tidak. Aku tidak bisa membaca."

"Apa kamu ingin belajar?" tanya chef yang membuat anak-anak di tempat itu semakin antusias. Mereka segera menjawab, "Ya, tentu mau." Chef kemudian mengajari mereka membaca. Chef merasa senang sekali. Chef mengajari anak-anak itu hingga malam menjelang. Lalu, chef segera pulang.

Begitupun keesokan harinya. Saat di dapur hotel, pikiran chef terus tertuju pada anak-anak di Bantar Gebang. Jiwanya seakan di tempat tersebut. Setelah jam kerja berakhir, dia segera menuju ke Bantar Gebang, menemui anak-anak yang kemarin, dan mengajari mereka kembali membaca. Kali ini, dia bahkan lupa waktu hingga mengajari anak-anak tersebut hingga malam, padahal dia masih punya jam malam di hotel.

Setelah masuk ke dunia anak-anak, Si Chef mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya di hotel sebagai chef, yang meskipun gaji mumpuni tapi dia merasa tersiksa karena hatinya bukan di situ. Dia lalu memutuskan untuk menjadi guru masak, karena hatinya memang dibawa untuk mengajar banyak orang.

Berdasarkan kisah tersebut, saat kita bekerja tanpa mengikuti passion, meskipun mungkin dapat menopang ekonomi tapi bekerja tanpa menggunakan hati akan membuat kita mudah tersiksa dan stres. Sebenarnya ada banyak kisah orang yang 'tersesat' karena tidak mengikuti passion mereka. Seperti seorang dokter yang ternyata lebih tertarik sebagai pemain biola, pengacara yang ternyata lebih tertarik pada pendidikan. Maka dari itu, temukan passion kalian demi meraih kesuksesan. INGAT! Saat kita bekerja dengan mengikuti passion maka semua akan mudah dan lancar.

How to Find Passion?

Bagaimana menemukan passion? Passion itu berasal dalam diri kita masing-masing. Passion ialah memberi bukan menerima. Menemukan passion itu adalah kamu sendiri. Namun, hal yang paling penting untuk menemukan passion ialah silahkan jawab pertanyaan berikut:
  • Hal apa yang paling suka dilakukan hingga dapat membuat kamu lupa waktu, namun sesuatu itu bermakna bagi kamu dan orang lain?
  • Hal apa yang saat dilakukan, kamu rela tidak dibayar demi melakukan itu, namun bermanfaat bagi banyak orang?
  • Hal apa yang membuat kamu lebih hidup saat melakukannya, namun berguna bagi banyak orang?
Berdasarkan pertanyaan tersebut, passion itu sesuatu yang paling senang kita lakukan, tulus melakukannya, tidak ada beban sama sekali, dan bermanfaat bagi banyak orang. Masih bingung apa passion kamu? Silahkan jawab dengan hati 27 pertanyaan cara menemukan passion. Download pertanyaannya DI SINI.

Lantas, passion saya apa? Setelah mengetahui apa itu passion dan menjawab beberapa pertanyaan untuk menemukan passion. Rupanya passion saya adalah dalam dunia tulis menulis. Saya sangat senang menulis atau mengarang. Saya berharap bisa menjadi professional author. Terkadang, ketika menulis, saya bisa sampai lupa waktu, membuat saya lebih hidup, dan bahkan saya rela untuk tidak dibayar demi menulis.

Nah, apa passion kamu?

Sabtu, 04 Juli 2015

Kalah? Jangan Mengalah Apalagi Menyerah!

Kalah? Jangan Mengalah Apalagi Menyerah!

Kalah menang itu hal wajar dalam setiap pertandingan. Ini adalah kalimat yang seringkali kita dengarkan. Itu memang benar sekali. Kalau tidak menang, ya, kalah. Makanya sebelum nekat ikut suatu pertandingan, hal yang mesti dipersiapkan ialah mental. Apakah siap untuk kalah? Bagaimana saat menang? Semua itu harus siap.

Bagi penulis pemula (baca: termasuk saya), mengikuti berbagai event itu memang salah satu penunjang agar mendapat banyak ilmu, sekaligus pengalaman. Sayangnya, saat memilih event, kita terlalu fokus dengan lombanya hingga tidak sadar apakah karya kita sudah baik atau tidak. Bahkan, mungkin banyak di antara kita (baca: sekali lagi termasuk saya) lolos dari berbagai event dan bahkan sertifikat bertebaran di mana-mana. Tapi, tulisan kita sendiri masih begitu saja, tidak ada peningkatan karena sudah menganggap keren setelah lolos dan dapat sertifikat.

Kita mesti tahu, kemenangan bisa menjadi awal kehancuran, jika terlalu bangga akan kemenangan itu. Banyak orang setelah menang, mereka akan menganggap dirinya sebagai juara, orang hebat, dan sudah tidak diragukan lagi. Padahal, setiap pemenang adalah pembelajar. Walaupun menang, tapi belajar pun harus tetap jalan.

Begitupun saat kalah, kekalahan bisa menjadi awal kehebatan, jika mampu belajar dari kekalahan itu. Saat kalah, banyak orang malah lari dari kekalahan mereka, putus asa, menyerah, bahkan yang lebih fatal, gantung diri. Padahal seseorang dapat menjadi benar setelah salah.

Saya sering ikut event kepenulisan baik indie maupun mayor. Tiap kali ikut indie, tulisan saya selalu lolos dan dapat e-sertifikat. Saya bangga dan senang sekali. Tapi, setelah melihat tulisan saya, sepertinya kurang peningkatan dan masih stay di posisi yang sama. Makanya saya perlahan meninggal zona nyaman saya dan mulai ikut mayor atau event dengan seleksi ketat, tulisan saya malah lebih sering TIDAK lolos. Awalnya, saya kecewa. Apa yang salah?

Dari ketidaklolosan tersebut, akhirnya saya sadar bahwa tulisan saya memang butuh peningkatan. Saya tidak mengalah apalagi menyerah. Saya belajar dari tulisan saya sendiri, tulisan orang lain, juga tulisan yang sudah banyak dimuat. Saya terus berusaha untuk ikut berbagai event. Akhirnya, perlahan tulisan saya mulai berubah, dengan seleksi yang ketat dan dengan pesaing yang banyak, cerita duet yang saya usung malah lolos dan diterbitkan penyerbit mayor. Meskipun begitu, saya sadar sekali lagi pemenang adalah pembelajar. Kemenangan adalah saat belajar, begitupun saat kalah, motivasi diri seharusnya malah lebih besar.

Intinya, saat kita selalu menang dan lolos suatu event, apa yang bisa diperbaiki jika kesalahan sendiri tidak mampu kita dapatkan. Namun, ketika kita telah kalah atau gagal suatu event, maka kita akan berusaha mencari alasan "Kenapa kalah atau gagal?", nah dari hal itu kita akan mulai belajar dan memperbaiki diri.

Satu hal yang perlu diingat sebelum mengakhiri tulisan ini,
Tidak ada orang hebat yang banjir pujian, mereka lebih banyak dapat kritikan daripada orang biasa.

Jumat, 03 Juli 2015

Pria dan Bunga Mawar dalam Genggaman

Pria dan Bunga Mawar dalam Genggaman
Oleh: Justang Zealotous

Bunga yang terus kugenggam sedari tadi terjatuh. Kelopaknya berhamburan, bentuknya tak lagi sempurna. Setitik senyum pada pita menghilang, dipudarkan kegelisahan.

Bulir air mata tak tahan basahi pipi. Tak lagi terseka pada gerangan tangan yang rela. Semua hilang, rasa dan cinta itu. Semua yang telah lama kusimpan sejak pertama lihat dia di lantai dansa.

***

“Aku suka bunga tapi kau tak akan menemukannya di sini. Cepat datang, ya!” ucap wanita itu lewat telepon.

“Aku pasti ke sana dengan bunga mawar dalam genggaman dan tak mungkin kulewatkan momen kedua ini. Masih Kafe Armenda, kan? Tunggu aku!” Telepon itu segera kumatikan tanpa basa basi. Aku terlalu senang.

Pakaian nuansa biru abu-abu dengan manik-manik berkilauan telah terpasang. Celana jin tebal tak terlalu ketat jua kupasang. Minyak rambut dan semprotan parfum sana sini. Aku tak bisa menjadi makhluk biasa untuk malam luar biasa.

Kendaraan butut, setidaknya hampir mirip Lamborgini zaman batu, segera kuhampiri yang tepat terparkir di tepi jalan. Kukendarai dengan super hati-hati, namun tak begitu lamban juga.

Aku tak sabar untuk bertemu kedua kalinya di lantai dansa. Bukan karena apa, cuma dia yang kukenal sebagai pedansa terbaik di kota seribu kafe. Dan, aku bakal berdansa dengannya. Suatu kebahagiaan terbesar yang pernah ada dalam hidupku. Selain itu, aku diam-diam menaruh hati padanya.

Setelah tiba, rupanya ada penjual bunga di depan kafe. Bunga mawar dengan kelopak merah menyala dan semerbak harumnya yang mewangi. Tepat sekali seperti janji akan membawakannya.

Kubuka pintu kafe dengan perasaan yang beradu, senang juga gelisah. Aku senang karena bakal dansa lagi dengannya. Gelisah, ya, aku belum bisa menjelaskan mengenai kata ini, mungkin cukup gelisah tak bisa maksimal untuknya.

Setelah pintu kafe terbuka dan suara musik nostalgia ala tahun 90-an langsung memburu telinga, sudah ada puluhan orang yang meramaikan tempat itu. Kuarahkan ke pandangan segala arah, wanita itu tak terlihat. Apa dia sungguh datang? Aku sangat gelisah kini.

Tiba-tiba seorang wanita dengan topeng muka di wajahnya langsung maju ke lantai dansa. Dari postur tubuh yang lentik, jelas sekali dia yang ingin kutemui. Senyumannya mengembang dan menunjuk ke salah satu arah, kepadaku. Aku membunga.

“Kau!” teriaknya.

“Aku?” tanyaku dengan perasaan sangat gugup. Dia menggerakkan jemarinya memanggil.

Lalu, aku segera melangkah. Satu dua langkah, segera terhenti. Bukan aku. Dia tak menunjuk ke arahku, ada seorang pria gagah dari belakang yang melewati langkahku. Pria itu bergegas ke lantai dansa.

“Hentikan musiknya!” pinta lelaki itu sembari sebuah kain dari balik panggung
mengiringinya turun. Ada tulisan di sana, ‘Will you marry me?’.

***

Aku tak sanggup melihat ini semua. Air mataku masih berlinang. Bunga tadi barangkali sudah terinjak di sana. Aku tak peduli dan akan segera pulang. Cukup buat aku terluka lebih dalam.

Segera kucari ponsel di saku celana untuk menelepon teman agar dia menjemputku. Setidaknya menenangkan diri bersamanya. Ternyata ada pesan singkat yang dari tadi masuk. Aku membukanya. ‘Bukan Kafe Armenda. Tapi, Kafe Armenia. Segera datang dan dansa bersamaku.’

Senin, 29 Juni 2015

Duri Bulan Juni

Duri Bulan Juni
Oleh: Justang Zealotous

Bagai menanam duri di pelataran duka
Kau datang membawa hujan yang kemarin menyisakan luka
Hujan bulan Juni yang kita nantikan
Namun lebih kunanti hujan bulan November yang datang
Tak perlu cemas apalagi harus takut
Kaul yang sudah kauniatkan mungkin menagih
Baiknya kaularungkan janji ke dua pasang ombak
Aliran keras dari hujan meriak
Bagai mencabut duri yang telah tumpul
Kau berkumpul menelan hujan yang esok mungkin kembali
Hujan bulan Juni yang terseok melawan arus
Hingga hujan bulan November berhenti mengarus
Kau niatkan kaul yang meruntuhkan kedua mata
Ciptakan larung untuk kuburan sendiri
Semestinya hujan yang melarungkan janji
Hanya jadi nestapa bagi jiwa yang telah lama berduri

Wtp, saat hujan bulan Juni jadi saksi, 2015

Senin, 23 Februari 2015

Lelaki untuk Wanita Pendiam

Lelaki untuk Wanita Pendiam
Oleh: Justang Zealotous

LELAKI itu terus mematut diri di depan cermin. Dirapikan rambutnya dan dikenakan baju terbaiknya. Ia ingin penampilan sesempurna mungkin, saat menghadap ke bapak ibu wanita yang telah lama ia sanjung.

Wanita pendiam, juga pemalu yang ia kenal melalui teman sekosnya. Wanita yang jarang bersentuhan dengan lelaki bukan muhrim karena sangat menjaga kehormatan. Itulah yang ia suka dari calon wanitanya itu. Pun, setelah beristikharah padaNya.

“Apa yang kaubawa untuk anakku? Harta? Tahta? Atau hanya cinta?” Pertanyaan calon mertuanya yang membuat hampir tercekat.

“Aku tidak membawa apapun. Sementara cinta telah kusematkan lama padanya. Aku hanya datang untuk mengikat hati kami berdua, di bahtera pernikahan.”

“Tidak takutkah terombang-ambing jika tanpa harta?”

Jika aku dan dia telah bersatu dalam kesucian batin. Lautan luas pun kami seberangi, walau hanya dengan rakit.”

“Mustahil!” Mata Ayah wanita itu melotot.

“Tidak ada yang mustahil jika Tuhan berkehendak. Aku telah bertanya padaNya dan Dia membawaku ke sini.”

“Sungguh berani dirimu, bocah. Pinanglah anakku, jika kau memang bisa menanggung yang di dalam perut buncitnya.”

Lelaki itu telah bertanya padaNya dan Dia membawanya ke rumah wanita itu. “Baiklah. Tuhan tahu apa yang aku tak tahu. Aku akan menanggungnya, seakan ia darah yang mengalir dalam ragaku.”


Watampone, 15 Januari 2015
Justang Zealotous

Sabtu, 03 Januari 2015

GALAU? Curhat Sama Allah

GALAU? Curhat Sama Allah
Oleh: Justang Zealotous

GALAU? Curhat Sama Allah
Ya Allah, masih kuingat kala itu, di mana kegelisahan menghantui hidupku. Maka, izinkanlah aku curhat padaMu karena tempat curhat terbaik hanya padaMu.
Jika masa putih abu-abu kita masih bisa bersantai ria sambil mojok bareng teman di kafe tanpa peduli dengan dunia yang akan digenggam nantinya, maka masa kampus bukan lagi waktunya untuk bersifat labil. Dunia nyata akan segera disambut, siap tidak siap mesti bertarung dengan otak atau otot yang dipunya.
Seperti halnya ketika gerbang SMA telah kulewati. Aku mesti siap menjadi mahasiswa dan pertarungan segera terjadi. Dari katanya saja, maha dan siswa. Itu berarti bukan sekadar pelajar ingusan yang disuapi ilmu tapi sudah saatnya mencari ilmu dan memakannya sendiri.
Setelah memilih program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Segera pula pengalaman kucari untuk menunjang tujuan utama nanti, menjadi seorang guru. Di antaranya, gabung pada organisasi kepenulisan. Biar kepercayaan diri bisa meningkat.
Aku juga ikut kursus Bahasa Inggris. Bukan tanpa sebab, melainkan bahasa yang satu itu kuanggap sebagai bahasa dunia. Jika ingin menguasai dunia, maka kuasai dulu bahasanya. Selain itu, seseorang yang sudah seperti keluarga tiba-tiba mengajakku bekerja di travel, ini bisa jadi pengalaman yang paling berharga, pun penambah uang jajan.
Semua terasa terkendali walau mesti kuliah, kursus, kerja. Beban yang paling besar kupikul tentang waktu. Tentang bagaimana mengatur jadwal yang sudah semakin sibuk. Pergi pagi terus pulang sore, saat malam juga kadang mesti kerja lagi. Malahan Ibu pernah menyindir dengan sindiran halus, kayak artis saja yang tidak punya waktu untuk keluarga, katanya. Aku hanya mampu menggeleng pasrah, karena kutahu dari usaha besarku ini akan menghasilkan hal yang besar pula. Itu memang butuh proses, walau lama.
***
Hingga pada satu waktu, semua terasa morat marit. Aku bahkan bingung kenapa itu mesti terjadi. Jadwal kuliah dan kursus adakalanya bertabrakan. Kalau soal kerja, pada dasarnya memang seperti keluarga, dia membebaskanku masuk kapan saja ketika ada waktu luang walau kadang tidak sampai hati jika tak pernah masuk karena jadwal kuliah dan kursus padat.
Aku berusaha memperbaiki semua waktuku dengan baik. Tapi, teman satu ruangan di kursus malah bertindak egois atau jadwal kuliahnya juga padat. Semakin bingung karena memang cuma aku yang prodi bahasa Indonesia, sementara lainnya berasal dari prodi bahasa Inggris. Tentu satu-satunya penghalang mereka hanya aku.
Pernah kuminta untuk privat ketika memang tak ada waktu yang cocok untuk belajar bersama. Namun, kata instruktur yang mengajar di tempat kursus, pasti ada jalan keluar dari semua itu. Yah, aku tahu itu tapi akan terlalu menghabiskan banyak waktu jika terus memikirkan jalan keluarnya.
Setelah berembuk mengenai jadwal kursus yang tepat dengan teman lainnya. Akhirnya kita punya jalan keluar itu, beberapa hari yang harus kuisi dengan kursus dan mengabaikan sejenak kerja di travel. Walau dari itu, sesekali kursus dibatalkan saat ada kuliah mendadak. Teman-teman pun mulai sering menyalahkanku sebagai pengganggu.
Aku tak mungkin berhenti kursus hanya karena dicap sebagai pengganggu. Aku juga punya tujuan utama, pun sama-sama sebagai pelajar di tempat itu. Jadi, mesti tanggung resiko pada setiap yang terjadi.
***
Memang masih kelimpungan pada pengaturan jadwal. Tapi, aku mesti cermat mengatur waktu agar semua itu berjalan dengan baik.
Setelah seharian kuliah, kursus, juga kerja. Kulihat pembayaran sedang menenggak bulan itu. Ekonomi keluarga yang menengah ke bawah membuatku harus ekstra berpikir untuk membiayai kursus selama per bulan. Mau bagaimana lagi? Kemauan untuk kursus ada pada diriku sendiri.
“Berhenti dari kursus saja. Toh, sama sekali tak ada hubungannya bahasa Inggris dengan jurusan yang kau punya,” protes Ibu. Kakak malah ikut mojokin.
“Bukan soal ada hubungannya atau tidak, Mak. Tapi, bahasa Inggris itu penting,” balasku membela diri.
“Kalau penting, kenapa tidak awal pilih jurusan bahasa Inggris saja?”
“Dari niat, kan, memang sudah mau bahasa Indonesia.”
“Terus liat tuh! Mau biayain kuliah kamu aja sudah ribet. Tambah lagi kursus. Sudah kerja malah gaji tak memuaskan.” Ibu naik pitam. Aku tak mungkin diam saja karena sadar semua ini sudah sepatutnya harus dilakukan.
“Iya, Mak. Insya Allah, dari semua ini kita pasti dapat yang lebih baik, kok. Prosesnya saja yang butuh waktu lama.” Aku meyakinkan. Ibu tersenyum, namun bukan senyum kelegaan.
Ibu masih saja durja. Bahkan terus memaksaku untuk berhenti di kursus atau cari pekerjaan lain yang lebih membantu keuangan. Namun, aku tak bisa memilih. Aku mesti melakukan keduanya karena punya sasaran utama yang harus dituju, sebuah kesuksesan. Jika aku berhenti di kursus, tak lagi ada ilmu penunjang untuk masa depanku.
Setelah berdebat dengan Ibu yang membuatku kian detik harus menelan ludah. Hari yang kujalani semakin amburadul. Bukan karena apa, tapi itu terus menjadi beban pikiranku.
Soal waktu, bisa saja kuatur semaksimal mungkin, tapi kalau soal biaya malah buatku nelangsa. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa untuk meringankan beban keluarga atas biaya yang kutanggungkan.
Kau tahu? Gaji yang kudapatkan bekerja di travel itu sungguh hanya sebagai uang jajan karena masuk kerja memang tidak intensif. Selain itu, travel yang dibina masih baru dan sosialiasi pada masyarakat pun masih jarang. Terkadang dalam seminggu cuma bisa menjual tiga sampai empat tiket, itupun kalau beruntung. Bagaimana bisa mendapatkan gaji yang besar?
***
Suatu hari, ada pesan singkat yang masuk di ponselku kalau ada kursus pukul 1 siang, sementara bos di travel menghubungi kalau ada yang pesan tiket dan mesti kukerjakan segera. Pada pagi hingga siang, jadwal kuliah padat dan tak mungkin kutinggalkan.
Dengan penuh percaya diri, kuyakinkan pada hati bisa menyelesaikannya dengan baik. Aku pun mengikuti kuliah secara disiplin. Saat pukul 1 siang tiba, segera kulangkahkan kaki menuju tempat kursus.
Aku menunggu begitu lama, setidaknya ada setengah jam berlalu namun belum juga ada seorang pun yang datang. Bos terus saja menghubungi atas tiket tapi tetap saja kuabaikan karena menunggu kursus mulai.
Setelah hampir setengah tiga, tiba-tiba pesan singkat masuk ke ponsel memberitahukan kalau kursus hari itu dibatalkan dengan alasan tak ada yang bisa masuk, katanya sih capek. Berang rasanya mendapatkan info itu. Kenapa alasan capek jadi penghalang semuanya? Aku juga capek. Bahkan sangat capek. Aku mengelus dada dan berusaha sabar menerima.
Kemudian, segera aku menuju ke tempat kerja. Di sana tak ada bos. Dengan perasaan masih gusar, aku langsung mengerjakan tugas untuk pesan tiket buat seseorang yang sedari tadi menghubungi. Setelah berunding lewat telepon tentang harga dan segalanya. Pekerjaan itu akhirnya selesai. Aku menghembuskan napas lega.
Tiket yang dipesan sudah kucetak dan siap diberikan. Bos akhirnya datang saat sore harinya.
“Bagaimana dengan tiket yang dipesan tadi?” tanyanya.
Aku menyodorkan amplop berisi tiket itu padanya. Dia menerima dengan senang hati. Perasaanku agak sedikit tenang dibuatnya. Setelah tiket itu berulang kali dibacanya, matanya membelalak tajam. Aku bingung namun tak berani kutanya mengapa.
“Coba cek tanggal keberangkatannya?” Dia mulai bertanya. Jantungku berdegup kencang.
“Hari ini, Pak,” jawabku dengan pasti.
“Hari ini? Itu beberapa jam yang lalu dan artinya tiket ini sudah kedaluwarsa. Mana mereka sudah bayar lagi.” Wajahnya memerah.
Aku menunduk malu. Ya Allah, apa yang telah kuperbuat? Batinku. Semua seperti bertimbun-timbun banyak sekali membebaniku. Di mana aku harus mengganti uang yang ratusan ribu itu, bahkan hampir sejuta? Uang kursus saja aku masih kelayapan. Ingin rasanya teriak dan menghunuskan pedang ke jantung begitu saja. Betapa bodohnya aku!
Lalu, aku pulang dengan perasaan paling gundah. Aku benar-benar galau. Wajahku sedari tadi begitu masam memikirkan uang yang mesti kuganti. Ibu yang memperhatikan diriku tak banyak tanya. Aku pun juga lebih memilih diam. Tak pernah kuceritakan masalah ini, biar kutanggung sendiri.
Ketika malam merangkak datang, tak pernah tenang jiwaku. Makan pun terasa tak enak. Setiap ibu mulai bertanya, aku hanya bisa menjawab kalau tak dalam masalah. Aku benar-benar tak ingin melibatkan Ibu ataupun yang lainnya ke dalam masalahku, pun sebenarnya aku malu akan semua ini.
Malam semakin malam, tak juga lelap tidurku. Kesalahan fatal tadi terus menghantui diriku, bahkan tiap memejamkan mata terus kuingat kejadian itu. Ya Allah, apa yang terjadi padaku? Lalu, kupikir untuk segera mengambil wudhu.
Meski memang tak lelap, tapi aku sudah tidur walau hanya sebentar. Aku pun salah tahajud untuk memohon dan berserah diri karena kutahu hanya Allah kini tempat mengadu. Tak ada teman curhat terbaik selain padaNya.
Usai melaksanakan dua rakaat, aku menengadahkan tangan dan memanjatkan doa. Terus kumohon agar diberikan ketenangan jiwa dan hati. Dilancarkan segala urusan. Aku tahu, tak ada yang berjalan dengan percuma di dunia ini, pasti semua ada hikmah di baliknya. Di sela-sela berdoa, setetes bening di sudut mataku terjatuh membasahi pipi.
***
Pagi harinya, aku masih belum bisa melupakan kejadian sebelumnya. Namun, aku berusaha bangkit dari keterpurukan ini. Begitupun ketika berada di kampus, teman-teman memperhatikanku dengan penuh selidik. Mereka mungkin agak bingung dengan tampangku yang terlihat bungkam. Walau sekali-kali aku berusaha menciptakan senyum itu pada mereka.
Saat kembali di tempat kerja, sejujurnya aku tak ingin masuk hari itu karena masih sangat malu dengan yang kemarin tapi mesti bersikap profesional. Bos juga memperhatikan aku agak berbeda, tentu dia tahu mengapa aku terlihat durja begitu.
“Tak perlu sedih. Lupakan saja soal kemarin! Itu memang resiko kerja. Kalau begini saja kamu tidak kuat, bagaimana nantinya ketika kamu sudah kerja di perusahaan yang besar. Kau tahu? Semakin besar seseorang maka semakin besar pula resiko atau beban yang mesti dipikulnya,” ucapnya. Aku hanya bisa mengangguk lemah.
“Ya sudah, cepat ambil barang-barangmu!” suruhnya yang membuat aku bingung. Apa dia ingin mengusirku?
Lalu, tiba-tiba dia membonceng dan membawaku ke suatu tempat. Aku terus bertanya-tanya dalam hati entah ke mana dia akan pergi. Aku bahkan semakin kaget ketika ternyata dia singgah di warung makan. Katanya sih dia ingin mentraktirku makan agar aku tidak muram lagi. Aku benar-benar tidak mengerti tapi sungguh baik yang dia tunjukkan padaku. Bahkan dia menyuruhku untuk melupakan soal uang itu.
Entah sekarang perasaanku sulit digambarkan seperti apa. Sejujurnya aku masih gelisah karena bagaimanapun juga itu semua salahku. Tapi, ketika dia memintaku untuk melupakannya, sedikit mengurangi kegelisahan itu. Ketika di rumah, Ibu tiba-tiba menghadang langkahku. Entah apa lagi yang ingin Ibu debatkan.
“Ini, Nak, untuk biaya kursusmu! Semoga kau bisa meraih yang kau impikan itu.” Ibu menyodorkan uang dan seakan menghapuskan semua rasa gelisah di dadaku.


Watampone, 20 November 2014

Jumat, 02 Januari 2015

CERBUNG: Sepucuk Senja untuk Cinta [Bagian 3]

-saat tawa dan tangis adalah hal yang sama-
[Bagian 3]


Setelah di depan gerobak penjual bunga, mata Ewin langsung tertuju pada dua tangkai mawar. Ia pun mengambilnya dan meletakkan masing-masing di kedua tangannya. Setangkai mawar oranye di tangan kanan dan setangkai mawar kuning lagi di tangan kiri.

“Oranye atau kuning? Cinta atau persahabatan?” tanya Ewin bingung, sekaligus gundah teramat dalam.

***

“Mas, mau beli, tak?” tanya penjual bunga cemberut, ia sudah terlalu penat menunggu sekitar dua puluh menit, Ewin masih saja menatap dua tangkai bunga di tangannya.

“Sabar, Mas! Aku pasti beli, hanya saja belum tahu mau pilih oranye atau kuning.” Ewin memelas.

Jam berdetak, semenit dua menit berlalu begitu saja. Semuanya semakin jenuh menunggu. Fahmi malah berkali-kali menguap karena kantuk yang tak tertahan, dan ia mulai bersandar pada bahu Ryan. Sementara si penjual bunga memasang muka sinis lantas Ewin masih belum menjatuhkan pilihan.

Ewin benar-benar bingung. Ia seakan kehilangan akal tentang kedua tangkai yang sudah hampir layu tersebut. Baginya, ini pilihan tersulit. Bagai memilih dicabik hewan buas atau dibakar api yang berkobar.

Ia memang sungguh mencintai Ayu bahkan ia sangat ingin memilikinya tapi bagaimana jika pilihan oranye tersebut membuatnya buruk di mata Ayu. Ia dianggap terlalu ambisius dan pencuri hati orang lain. Atau, malah pilihan kuning tersebut yang akan semakin membuatnya jauh dari Ayu. Ah, bingungnya tuh kebangetan!

“Pilih saja, saudara! Ikuti kata hati. Kata orang sih kata hati tak bakal bohong karena itu langsung dari-Nya. Dan, kau yang lebih pantas menentukan jalan hidupmu sendiri. Pun aku juga tahu kalau pilihanmu adalah kebahagiaanmu,” usul Ryan. Ia seperti motivator di acara tipi.

Fahmi kembali menguap, lalu ditutupnya mulut dengan tangan. “Sudah selesai ceramah, Bro?” sindir Fahmi. “Ewin, cepat pilih! Ini sudah setengah jam dan lu masih belum membeli setangkai pun. Atau begini, lu beli keduanya saja. Kalau ia anggap itu sebagai cinta dan ia senang, syukur. Kalau ia anggap itu sebagai persahabatan, itu berarti sahabat dengan kasih sayang luar biasa.” Fahmi menghentikan omelannya dengan terengah-engah.

Ryan dan Ewin langsung melongo tak percaya mendengar Fahmi berbicara panjang lebar, termasuk si penjual bunga yang ikutan mendesah lega.

“Wah! Hebat banget kau, Fahmi. Aku setuju dua ratu persen dengan usulan saudara kita ini.” Ryan terus memuji Fahmi sambil memukul-mukul pundaknya.

“Iya, itu ide luar biasa bagus.” Si penjual bunga ikut membenarkan. Ia bahagia karena akhirnya mau dibeli juga yang sedari tadi ditunggunya dengan kesal.

Ewin tersenyum lebar. “Oke! Mas, berapa harganya?”

“Tunggu!” Ryan tiba-tiba berteriak dan membuat semuanya terkejut. “Aku pernah baca diCatatan Legawa, perpaduan oranye dan kuning bermakna antusiasme, hasrat, dan hal-hal yang memberikan semangat pada sebuah hubungan. Bagus, kan? Selain itu, jumlah mawar juga bisa memiliki makna berbeda, misalnya untuk dua tangkai mawar mengucapkan rasa terima kasih, dua belas tangkai untuk cinta yang tak terbantahkan, dua puluh lima tangkai untuk ucapan selamat, dan lima puluh tangkai untuk cinta yang tak bersayarat. Nah, mau pilih mana?” jelas Ryan.

“Ryaaan! Jika lu terus memberinya pilihan, kita bakal nunggu lagi. Dan, gue udah capek menunggu. Ambil dua tangkai saja, terserah itu maksudnya terima kasih untuk apaan,” gerutu Fahmi. Ia segera menarik tangan Ewin untuk pergi.

“Eh, tunggu dulu! Aku belum bayar, nih,” tegur Ewin.

Si penjual bunga masih memasang muka masam. “Nggak perlu dibayar. Gratis saja asal bisa membuat kalian pergi dari sini.”

“Maaf, maaf!” ucap Ewin merasa sangat bersalah.

“Alaaah! Jangan marah, Mas. Cepat tua nanti,” goda Fahmi.

“Pergiii!!!” pekik si penjual bunga tersebut dan langsung membuat Ewin serta kedua sahabatnya berlari terbirit-birit.

***

Ewin berkali-kali menatap arloji di tangan kanannya. Pukul empat lima puluh sore, sebentar lagi sinar redup berwarna ungu bakal muncul di langit cerah sebelah barat. Itu waktu yang indah untuk memberikan kado terhebat buat Ayu.

Waktu tersebut dipilih Ewin juga berdasarkan usulan dari kedua sahabatnya. Ayu kan minta sepucuk senja, jadi kado yang tepat untuknya sepucuk mawar di tengah senja. Meskipun begitu, ia datang lebih awal karena takut terlambat. Ia tahu betul Ayu tak suka cowok yang kerjaannya buat orang menunggu. 

Sekali lagi, arlojinya kembali ditatap. Ia sungguh tak sabar memberikan dua tangkai mawar itu padanya. Apalagi hari ini ia sama sekali tak bertemu dengan Ayu karena libur sekolah. Ia hanya memberinya pesan singkat untuk bertemu di tepi telaga pada waktu senja.

Ewin lalu menggenggam dua tangkai mawar tersebut dan menatapnya. “Ayu, mengapa sulit sekali mendapatkan dirimu? Kau tahu, aku seperti kayu lapuk yang dimakan rayap jika kau tak di sisiku. Ya, aku juga tidak mengerti mengapa hati ini seakan lemah tanpamu.” Ewin membuang napas berat.

Tiba-tiba matanya langsung beralih di ujung langit bagian barat. Sebuah warna merah kekuning-kuningan perlahan muncul lalu membuat pantulan ke telaga dan itu semakin indah terlihat. Ia pun mulai tampak resah karena seharusnya Ayu telah berada di sampingnya sekarang. Nyatanya, suara bak lantunan biola Ayu bahkan belum terdengar.

Ia periksa kembali arlojinya untuk memastikan waktu tak habis membuntutinya. Pukul lima tiga puluh lima, sinar redup keunguan itu bakal segera menghilang, Ayu belum juga datang. Lalu, dihubunginya nomor Ayu agar bisa tahu keberadaan wanita yang paling dicintainya dengan diam itu.

Tut, tut, tut! Malah sibuk. Ewin semakin cemas hati. Tak biasanya cewek paling anti telat malah setelah ini dan tak mungkin juga sih ia tiba-tiba membatalkan janji tanpa pemberitahuan dahulu. Ayu bukan cewek segila itu.

Bahkan pernah sekali waktu ketika Ayu mengajak Ewin janjian ketemu di tepi telaga yang sama saat awal-awal persahabatan mereka, untuk memperkenalkan betapa cintanya ia pada senja. Saat itu, Ayu terlambat datang walau hanya sekitar dua menit. Ia langsung meminta maaf berkali-kali dengan penuh penyesalan, bahkan air matanya sempat menetes.

“Mengapa kau menangis?” kata Ewin kala itu.

“Aku telat! Aku telat!” rintih Ayu.

“Tak masalah. Kau kan cuma telat sekitar dua menit.”

“Dua menit? Menurut aku, waktu adalah salah satu hal paling berharga di dunia. Membuang-buang waktu walau hanya semenit atau dua menit, sama saja telah membuang banyak kesempatan untuk bahagia.” Kala itu, Ayu memelototi Ewin dalam-dalam karena dianggap merendahkan waktu.

Namun sekarang, Ayu malah sangat telat. Meskipun begitu, Ewin terus berpikir positif. Boleh jadi, ia punya urusan mendadak atau lagi ketemuan dulu dengan Sofyan. Tidak mungkin kan cowok yang paling dicintai Ayu dengan dalam itu tak memberikan kejutan teristimewa.

Sekian kalinya, Ewin menatap arloji lagi. Pukul lima lima puluh empat, merah kekuning-kuningan di ujung barat sana semakin menyala. Mentari yang menggantung sudah ingin tenggelam. Lalu, diletakannya bunga mawar yang sudah hampir mengering di sebelah kanannya. Ia masih setia menunggu.

“Ewin!” Suara yang tak asing terdengar di ujung kiri berteriak memanggilnya. Lantas, wajah Ewin segera dipalingkan ke kiri.

Perlahan, suara desahan yang memburu terdengar megap-megap. Langkah kaki jenjang itu pun juga mulai semakin mendekat. Akhirnya cewek yang sedari tadi ditunggunya datang. Rambutnya yang panjang dikucir.

Ayu langsung menunduk sesal melihat Ewin, ia tahu kalau telah datang terlambat. “Ewin, maafkan aku karena sudah telat! Aku memang bukan sa---“

“Cukup, Ayu!” Ewin meletakkan dua jarinya ke bibir Ayu. “Kau tak perlu minta maaf lagi. Waktu memang tak boleh dibuang percuma, namun ada kalanya waktu harus terbuang untuk memastikan orang lain bahagia.”

Ayu masih menunduk, memang karena menyesal tapi kalimat Ewin membuatnya malah tak mengerti. Membuat orang lain bahagia? Siapa? Sofyan? Entahlah!

“Pasti kau telah menunggu begitu lama, bukan?” tanya Ayu masih terus menyalahkan diri.

“Ah, tidak! Aku baru sebentar di sini. Hanya saja, mungkin aku yang terlalu cepat sampai kau keduluan deh.” Ewin berusaha membuat Ayu tersenyum, tapi entah kenapa senyumannya masih belum tampak. “Ya sudah, duduk di samping aku, yuk!” Ewin mempersilahkan dan Ayu mengikuti.

“Maaf, ya!” Ayu mengiba. “Sebenarnya tadi teman-temanku tiba-tiba datang ke rumah dan memberikan kejutan ulang tahun. Aku tidak mungkin kan meninggalkan mereka. Terus, aku coba hubungi kau malah sibuk, mau di-sms malah gagal terus.”

“Tak perlu menyesal begitu. Aku kan sudah bilang kalau baru datang juga. Eh, sampai lupa. Selamat ulang tahun, ya!”

“Kau memang benar-benar baik sama aku.”

“Biasa saja, tuh!” Ewin merendah.

‘Eh, kau tahu nggak?”

“Yah, enggak! Kau kan belum cerita.”

“Ihh, kau ini!” Ayu langsung memukul jidat Ewin, seperti kebiasaannya tiap kali sebal. Namun setelah itu, senyumannya kembali mengembang. “Tengah malam tadi saat pukul dua belas tepat, Sofyan datang ke rumah dan memberiku kejutan paling hebat. Aku senang sekali saat dia mencium keningku dan memelukku erat.”

“Terus?” tanya Ewin dengan muka datar setelah mendengar kalimat terburuk sepanjang masa.

“Yah, dia sih belum memberiku hadiah. Katanya hari ini, tapi sampai sekarang juga belum datang. Namun, aku yakin pasti hadiahnya jauh lebih hebat,” ucap Ayu berbangga diri.

“Wah, selamat ya! Aku turut senang mendengarnya. Pasti kau sangat beruntung mendapatkan dia, bukan?”

“Ah, seharusnya dia yang beruntung mendapatkan aku, habisnya aku cantik sih. Heheh!” Ayu terkikih. “Oh iya, mana sepucuk senjaku? Kau janji kan ingin memberikannya sebagai hadiah ulang tahun?”

Ewin terkejut. Ia hampir lupa keberadaan dua tangkai mawar yang ada disebelah kanannya itu. Lalu, diliriknya dan ternyata sudah sangat mengering. Waduh, bisa jadi hadiah paling buruk selama abad ke-21, nih. Ewin membatin.

“Tentu saja! Aku tidak mungkin lupa.” Ewin tersenyum kecut sambil perlahan mengangkat dua tangkai mawarnya. Ayu ikut tersenyum menanti hadiahnya.

Namun tiba-tiba telepon seluler Ayu berdering. Ia segera meraih telepon selulernya di saku. Ternyata nama Sofyan terlihat menelepon. “Tunggu! Aku mau angkat telepon dulu.”

Setelah diangkat dan suara di ujung telepon mulai terdengar luruh, Ayu terlihat kaku dan ada segores senyum di bibirnya namun setetes bening juga sontak membasahi pipinya. Ewin pun langsung meletakkan kembali dua tangkai mawar itu karena kaget melihat Ayu yang mendadak menangis.

“Ada apa, Ayu?” tanya Ewin bingung.

Bersambung!