Jumat, 02 Januari 2015

CERBUNG: Sepucuk Senja untuk Cinta [Bagian 3]

-saat tawa dan tangis adalah hal yang sama-
[Bagian 3]


Setelah di depan gerobak penjual bunga, mata Ewin langsung tertuju pada dua tangkai mawar. Ia pun mengambilnya dan meletakkan masing-masing di kedua tangannya. Setangkai mawar oranye di tangan kanan dan setangkai mawar kuning lagi di tangan kiri.

“Oranye atau kuning? Cinta atau persahabatan?” tanya Ewin bingung, sekaligus gundah teramat dalam.

***

“Mas, mau beli, tak?” tanya penjual bunga cemberut, ia sudah terlalu penat menunggu sekitar dua puluh menit, Ewin masih saja menatap dua tangkai bunga di tangannya.

“Sabar, Mas! Aku pasti beli, hanya saja belum tahu mau pilih oranye atau kuning.” Ewin memelas.

Jam berdetak, semenit dua menit berlalu begitu saja. Semuanya semakin jenuh menunggu. Fahmi malah berkali-kali menguap karena kantuk yang tak tertahan, dan ia mulai bersandar pada bahu Ryan. Sementara si penjual bunga memasang muka sinis lantas Ewin masih belum menjatuhkan pilihan.

Ewin benar-benar bingung. Ia seakan kehilangan akal tentang kedua tangkai yang sudah hampir layu tersebut. Baginya, ini pilihan tersulit. Bagai memilih dicabik hewan buas atau dibakar api yang berkobar.

Ia memang sungguh mencintai Ayu bahkan ia sangat ingin memilikinya tapi bagaimana jika pilihan oranye tersebut membuatnya buruk di mata Ayu. Ia dianggap terlalu ambisius dan pencuri hati orang lain. Atau, malah pilihan kuning tersebut yang akan semakin membuatnya jauh dari Ayu. Ah, bingungnya tuh kebangetan!

“Pilih saja, saudara! Ikuti kata hati. Kata orang sih kata hati tak bakal bohong karena itu langsung dari-Nya. Dan, kau yang lebih pantas menentukan jalan hidupmu sendiri. Pun aku juga tahu kalau pilihanmu adalah kebahagiaanmu,” usul Ryan. Ia seperti motivator di acara tipi.

Fahmi kembali menguap, lalu ditutupnya mulut dengan tangan. “Sudah selesai ceramah, Bro?” sindir Fahmi. “Ewin, cepat pilih! Ini sudah setengah jam dan lu masih belum membeli setangkai pun. Atau begini, lu beli keduanya saja. Kalau ia anggap itu sebagai cinta dan ia senang, syukur. Kalau ia anggap itu sebagai persahabatan, itu berarti sahabat dengan kasih sayang luar biasa.” Fahmi menghentikan omelannya dengan terengah-engah.

Ryan dan Ewin langsung melongo tak percaya mendengar Fahmi berbicara panjang lebar, termasuk si penjual bunga yang ikutan mendesah lega.

“Wah! Hebat banget kau, Fahmi. Aku setuju dua ratu persen dengan usulan saudara kita ini.” Ryan terus memuji Fahmi sambil memukul-mukul pundaknya.

“Iya, itu ide luar biasa bagus.” Si penjual bunga ikut membenarkan. Ia bahagia karena akhirnya mau dibeli juga yang sedari tadi ditunggunya dengan kesal.

Ewin tersenyum lebar. “Oke! Mas, berapa harganya?”

“Tunggu!” Ryan tiba-tiba berteriak dan membuat semuanya terkejut. “Aku pernah baca diCatatan Legawa, perpaduan oranye dan kuning bermakna antusiasme, hasrat, dan hal-hal yang memberikan semangat pada sebuah hubungan. Bagus, kan? Selain itu, jumlah mawar juga bisa memiliki makna berbeda, misalnya untuk dua tangkai mawar mengucapkan rasa terima kasih, dua belas tangkai untuk cinta yang tak terbantahkan, dua puluh lima tangkai untuk ucapan selamat, dan lima puluh tangkai untuk cinta yang tak bersayarat. Nah, mau pilih mana?” jelas Ryan.

“Ryaaan! Jika lu terus memberinya pilihan, kita bakal nunggu lagi. Dan, gue udah capek menunggu. Ambil dua tangkai saja, terserah itu maksudnya terima kasih untuk apaan,” gerutu Fahmi. Ia segera menarik tangan Ewin untuk pergi.

“Eh, tunggu dulu! Aku belum bayar, nih,” tegur Ewin.

Si penjual bunga masih memasang muka masam. “Nggak perlu dibayar. Gratis saja asal bisa membuat kalian pergi dari sini.”

“Maaf, maaf!” ucap Ewin merasa sangat bersalah.

“Alaaah! Jangan marah, Mas. Cepat tua nanti,” goda Fahmi.

“Pergiii!!!” pekik si penjual bunga tersebut dan langsung membuat Ewin serta kedua sahabatnya berlari terbirit-birit.

***

Ewin berkali-kali menatap arloji di tangan kanannya. Pukul empat lima puluh sore, sebentar lagi sinar redup berwarna ungu bakal muncul di langit cerah sebelah barat. Itu waktu yang indah untuk memberikan kado terhebat buat Ayu.

Waktu tersebut dipilih Ewin juga berdasarkan usulan dari kedua sahabatnya. Ayu kan minta sepucuk senja, jadi kado yang tepat untuknya sepucuk mawar di tengah senja. Meskipun begitu, ia datang lebih awal karena takut terlambat. Ia tahu betul Ayu tak suka cowok yang kerjaannya buat orang menunggu. 

Sekali lagi, arlojinya kembali ditatap. Ia sungguh tak sabar memberikan dua tangkai mawar itu padanya. Apalagi hari ini ia sama sekali tak bertemu dengan Ayu karena libur sekolah. Ia hanya memberinya pesan singkat untuk bertemu di tepi telaga pada waktu senja.

Ewin lalu menggenggam dua tangkai mawar tersebut dan menatapnya. “Ayu, mengapa sulit sekali mendapatkan dirimu? Kau tahu, aku seperti kayu lapuk yang dimakan rayap jika kau tak di sisiku. Ya, aku juga tidak mengerti mengapa hati ini seakan lemah tanpamu.” Ewin membuang napas berat.

Tiba-tiba matanya langsung beralih di ujung langit bagian barat. Sebuah warna merah kekuning-kuningan perlahan muncul lalu membuat pantulan ke telaga dan itu semakin indah terlihat. Ia pun mulai tampak resah karena seharusnya Ayu telah berada di sampingnya sekarang. Nyatanya, suara bak lantunan biola Ayu bahkan belum terdengar.

Ia periksa kembali arlojinya untuk memastikan waktu tak habis membuntutinya. Pukul lima tiga puluh lima, sinar redup keunguan itu bakal segera menghilang, Ayu belum juga datang. Lalu, dihubunginya nomor Ayu agar bisa tahu keberadaan wanita yang paling dicintainya dengan diam itu.

Tut, tut, tut! Malah sibuk. Ewin semakin cemas hati. Tak biasanya cewek paling anti telat malah setelah ini dan tak mungkin juga sih ia tiba-tiba membatalkan janji tanpa pemberitahuan dahulu. Ayu bukan cewek segila itu.

Bahkan pernah sekali waktu ketika Ayu mengajak Ewin janjian ketemu di tepi telaga yang sama saat awal-awal persahabatan mereka, untuk memperkenalkan betapa cintanya ia pada senja. Saat itu, Ayu terlambat datang walau hanya sekitar dua menit. Ia langsung meminta maaf berkali-kali dengan penuh penyesalan, bahkan air matanya sempat menetes.

“Mengapa kau menangis?” kata Ewin kala itu.

“Aku telat! Aku telat!” rintih Ayu.

“Tak masalah. Kau kan cuma telat sekitar dua menit.”

“Dua menit? Menurut aku, waktu adalah salah satu hal paling berharga di dunia. Membuang-buang waktu walau hanya semenit atau dua menit, sama saja telah membuang banyak kesempatan untuk bahagia.” Kala itu, Ayu memelototi Ewin dalam-dalam karena dianggap merendahkan waktu.

Namun sekarang, Ayu malah sangat telat. Meskipun begitu, Ewin terus berpikir positif. Boleh jadi, ia punya urusan mendadak atau lagi ketemuan dulu dengan Sofyan. Tidak mungkin kan cowok yang paling dicintai Ayu dengan dalam itu tak memberikan kejutan teristimewa.

Sekian kalinya, Ewin menatap arloji lagi. Pukul lima lima puluh empat, merah kekuning-kuningan di ujung barat sana semakin menyala. Mentari yang menggantung sudah ingin tenggelam. Lalu, diletakannya bunga mawar yang sudah hampir mengering di sebelah kanannya. Ia masih setia menunggu.

“Ewin!” Suara yang tak asing terdengar di ujung kiri berteriak memanggilnya. Lantas, wajah Ewin segera dipalingkan ke kiri.

Perlahan, suara desahan yang memburu terdengar megap-megap. Langkah kaki jenjang itu pun juga mulai semakin mendekat. Akhirnya cewek yang sedari tadi ditunggunya datang. Rambutnya yang panjang dikucir.

Ayu langsung menunduk sesal melihat Ewin, ia tahu kalau telah datang terlambat. “Ewin, maafkan aku karena sudah telat! Aku memang bukan sa---“

“Cukup, Ayu!” Ewin meletakkan dua jarinya ke bibir Ayu. “Kau tak perlu minta maaf lagi. Waktu memang tak boleh dibuang percuma, namun ada kalanya waktu harus terbuang untuk memastikan orang lain bahagia.”

Ayu masih menunduk, memang karena menyesal tapi kalimat Ewin membuatnya malah tak mengerti. Membuat orang lain bahagia? Siapa? Sofyan? Entahlah!

“Pasti kau telah menunggu begitu lama, bukan?” tanya Ayu masih terus menyalahkan diri.

“Ah, tidak! Aku baru sebentar di sini. Hanya saja, mungkin aku yang terlalu cepat sampai kau keduluan deh.” Ewin berusaha membuat Ayu tersenyum, tapi entah kenapa senyumannya masih belum tampak. “Ya sudah, duduk di samping aku, yuk!” Ewin mempersilahkan dan Ayu mengikuti.

“Maaf, ya!” Ayu mengiba. “Sebenarnya tadi teman-temanku tiba-tiba datang ke rumah dan memberikan kejutan ulang tahun. Aku tidak mungkin kan meninggalkan mereka. Terus, aku coba hubungi kau malah sibuk, mau di-sms malah gagal terus.”

“Tak perlu menyesal begitu. Aku kan sudah bilang kalau baru datang juga. Eh, sampai lupa. Selamat ulang tahun, ya!”

“Kau memang benar-benar baik sama aku.”

“Biasa saja, tuh!” Ewin merendah.

‘Eh, kau tahu nggak?”

“Yah, enggak! Kau kan belum cerita.”

“Ihh, kau ini!” Ayu langsung memukul jidat Ewin, seperti kebiasaannya tiap kali sebal. Namun setelah itu, senyumannya kembali mengembang. “Tengah malam tadi saat pukul dua belas tepat, Sofyan datang ke rumah dan memberiku kejutan paling hebat. Aku senang sekali saat dia mencium keningku dan memelukku erat.”

“Terus?” tanya Ewin dengan muka datar setelah mendengar kalimat terburuk sepanjang masa.

“Yah, dia sih belum memberiku hadiah. Katanya hari ini, tapi sampai sekarang juga belum datang. Namun, aku yakin pasti hadiahnya jauh lebih hebat,” ucap Ayu berbangga diri.

“Wah, selamat ya! Aku turut senang mendengarnya. Pasti kau sangat beruntung mendapatkan dia, bukan?”

“Ah, seharusnya dia yang beruntung mendapatkan aku, habisnya aku cantik sih. Heheh!” Ayu terkikih. “Oh iya, mana sepucuk senjaku? Kau janji kan ingin memberikannya sebagai hadiah ulang tahun?”

Ewin terkejut. Ia hampir lupa keberadaan dua tangkai mawar yang ada disebelah kanannya itu. Lalu, diliriknya dan ternyata sudah sangat mengering. Waduh, bisa jadi hadiah paling buruk selama abad ke-21, nih. Ewin membatin.

“Tentu saja! Aku tidak mungkin lupa.” Ewin tersenyum kecut sambil perlahan mengangkat dua tangkai mawarnya. Ayu ikut tersenyum menanti hadiahnya.

Namun tiba-tiba telepon seluler Ayu berdering. Ia segera meraih telepon selulernya di saku. Ternyata nama Sofyan terlihat menelepon. “Tunggu! Aku mau angkat telepon dulu.”

Setelah diangkat dan suara di ujung telepon mulai terdengar luruh, Ayu terlihat kaku dan ada segores senyum di bibirnya namun setetes bening juga sontak membasahi pipinya. Ewin pun langsung meletakkan kembali dua tangkai mawar itu karena kaget melihat Ayu yang mendadak menangis.

“Ada apa, Ayu?” tanya Ewin bingung.

Bersambung!


Related Story for Cerita Bersambung ,Romance

Comments
1 Comments

1 komentar:

Terima Kasih telah menyempatkan diri untuk membaca artikel di atas. Sekarang waktunya untuk memberikan komentar, saran, kritik atau masukan demi karya yang lebih baik lagi. Buat kalian yang tidak memiliki akun google, bisa diganti dengan NAME/URL