Minggu, 24 Desember 2017
[Dimuat di Radar Surabaya edisi Minggu, 24 Desember 2017]
Aku hanya perempuan biasa, Rustam. Perempuan yang masih punya hati yang rapuh serapuh ranting kering jatuh meninggalkan pohon yang ketika terinjak kaki-kaki manusia akan patah sendirinya. Jujur, Rustam, aku tak bisa pura-pura kuat ketika dadaku sudah semakin sesak karena luka yang kauberikan padaku. Aku, perempuan yang telah menerima pinanganmu ingin menikah denganmu, bukan menikah dengan luka.
Sudah terbilang empat pekan kau pergi, Rustam. Sudah banyak kerinduan dan kehilangan dan kerterpurukan yang menjeratku. Aku seakan berada di ambang keinginan untuk lepas darimu atau tetap menunggumu di sini sampai kau pulang. Tapi aku tidak tahu seberapa lama aku bertahan sementara aku benar-benar hanya perempuan biasa yang bisa jatuh hati dengan siapa saja. Jika begitu, pulanglah, Rustam. Jangan biarkan aku mencinta selain dirimu.
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kau datang di rumahku bersama ibu dan bapakmu menemui ibu dan bapakku tanpa kabar sebelumnya hingga kami serumah kaget setengah mati. Kami kira kau bercanda tapi matamu yang berbinar, senyummu yang merekah lebar sekali hingga pipi bakpaumu jadi terkikis, menyiratkan kesungguhan yang nyata.
"Saya sudah sangat mencintai anak Om. Saya mohon restui hubungan kami," katamu jantan, lebih jantan dari kata-kata para lelaki yang pernah datang ke rumahku hanya dengan modal cengengesan.
"Kami pasti merestui niat baikmu, Nak." Ayahku membalas ucapanmu dengan bijak pula. Kau tahu, Rustam? Bahagia yang datang ke hatiku ketika mendengar itu lebih besar daripada bahagia yang pernah menghampiriku ketika wisuda S1 dua tahun lalu.
"Kapan acara naik uangnya?" tanya ibumu. Dia tampak lebih bersemangat dari yang aku kira.
"Secepatnya," sambut ayahku.
Semua tanggal penting sudah tercatat. Segala rangkaian adat sudah dilaksanakan. Tersisa kalimat sakral yang mesti kauucapkan di hadapan penghulu demi mengikat janji kita untuk hidup bahagia selamanya. Namun tiba-tiba kaukirimkan guntur tepat di hari-hari bahagiaku. "Aku harus berangkat sekarang, Halimah. Negara membutuhkanku."
Apa kau pikir aku tidak membutuhkanmu sama sekali, Rustam? Apa kau pikir aku tidak akan tersiksa dengan kepergianmu yang entah kembali atau tidak, Rustam? Aku sakit, Rustam. Aku bahkan menangis berhari-hari setelah melihat punggungmu yang lebar dan tegap itu menghilang perlahan demi perlahan.
Kukatakan memang, "Pergilah, Rustam, jika itu benar tugas negara yang harus kaupenuhi. Aku tahu banyak orang yang membutuhkan dan mengharapkanmu di sana. Aku hanya akan mengirimkan doa-doa untuk mengiringi langkahmu." Tapi itu tidak lebih dari caraku untuk membuat kau tidak merasa cemas sama sekali. Padahal kalimatku telah menusuk jantungku sendiri.
"Terima kasih, Halimah, aku janji akan kembali secepat yang aku bisa."
"Janji?"
"Janjiku itu janji seorang kesatria, Halimah. Aku lebih baik mati tertusuk panah ketimbang mengingkari janjiku sendiri."
Kau cium keningku kemudian berbalik. Kau pergi lalu tak kembali lagi. Ke mana janji kesatriamu itu, Rustam? Ini sudah cukup lama kaubiarkan aku dirundung pilu dan hidup dengan luka.
Kenapa juga harus kau yang pergi membela negara, Rustam? Maksudku, kenapa tidak kaucari saja pekerjaan lain yang tak perlu membuat aku merasakan kerinduan dan kehilangan dan keterpurukan yang tiada terkira?
Terlalu pahit rasanya melihat kau mencumbui senjata-senjata, sementara aku di sini hanya mampu menyandarkan wajahku ke jendela kaca sembari melihat angin menerbangkan daun-daun. Terlalu perih rasanya membayangkan kau berada di tengah-tengah kebengisan orang-orang yang bermain-main dengan desing peluru yang ditembakkan berkali-kali, sementara aku di sini hanya mampu tertidur dengan malam-malamku yang penuh dengan suara tembakan dan lelehan darah serta napas kematian.
"Kenapa kau memilih untuk jadi tentara?"
"Aku ingin menjadi bagian dari orang-orang yang melindungi negara? Apa kau tidak bangga calon suamimu menjadi orang yang berjasa untuk negaranya?"
"Tapi aku takut kau terluka. Dan aku takut kau mati."
"Mati itu teman dari sebuah peperangan. Jika Tuhan membiarkan aku mati di medan perang, itu berarti Tuhan mengizinkan aku hidup di surganya."
"Kau bisa hidup di surga dengan cara lain."
"Mendapatkan surga dengan cara jantan itu pilihan terbaik, Halimah."
Kau memang egois, Rustam. Kau hanya memikirkan bagaimana seharusnya kau mati, tapi tidak pernah sekalipun kau berpikir bagaimana seharusnya kau hidup denganku.
Kau ingat, Rustam, kita bertemu saat aksi demonstrasi yang mengakibatkan dua teman kita direset ke kantor polisi. Mereka dituduh sebagai provokator. Saat itu, aku belum benar-benar mengenalmu tapi ketidakbecusan pemerintah saat itu membuat aku harus kenal dengan orang-orang sepertimu. Aku ingin menjadi bagian dari orang-orang yang haknya dicabut. Aku ingin membela rakyat yang diperbudak pemerintah. Kau pun demikian.
Saat malam, setelah kita mengadakan pertemuan di rumah Suardi, rumah yang cukup luas untuk kita jadikan sebagai sekretariat, kau tiba-tiba menawariku jemputan untuk pulang.
"Tidak baik perempuan pulang sendirian," katamu saat itu.
"Aku sudah terbiasa."
"Kalau begitu kau harus mulai terbiasa diantar pulang."
Sejak dulu, kau memang sudah sangat egois, Rustam. Tapi karena malam itu memang sudah sangat larut, aku mau tak mau menerima tawaranmu. Lagi pula aku sebenarnya senang seorang lelaki bergaya mahasiswa organisator dengan rambut keriting yang ditata acak-acakan, jaket kulit yang membungkus kaos bertuliskan Merdeka Tanpa Kata-Kata yang kemudian dilengkapi jins panjang yang sudah disobek bagian lututnya. Aku diam-diam memperhatikanmu karena caramu untuk tetap terlihat berantakan.
Motormu sampai di depan pagar rumahku dalam waktu kurang lima belas menit. Jarak tempuh yang cukup dekat seharusnya..
"Apa kamu yakin akan ikut besok, Halimah?" tanyamu. Ada cemas yang muncul dari sosok berantakanmu.
"Kenapa kau bertanya begitu, Rustam? Aku tentu saja akan ikut. Itu sudah jadi sebuah prinsip."
"Tapi besok akan sangat bahaya untukmu, Halimah. Anak-anak pasti akan lebih agresif dari kemarin. Ini bukan lagi soal pembelaan hak-hak tapi juga tuntutan pembebasan untuk Adi dan Dono."
"Kamu santai saja, Rustam. Aku bisa jaga diri," kataku enteng. Kau tetap menatapku dengan tatapan paling khawatir. Sekarang aku merasakan kecemasanmu. Aku juga takut seperti kau dulu takut aku terluka. Ini seperti upaya balas dendam yang tak pernah tuntas.
Hari itu kita memang sama-sama berjuang, sama-sama membela hak-hak rakyat. Aku bahkan bahagia bisa berada di tengah teriakan-teriakan para demonstran yang haus keadilan. Mendengar letupan senjata para anggota brimob yang dilecutkan ke langit membuat semangatku semakit memburu. Gas air mata yang sengaja ditembakkan. Batu-batu kerikil yang melayang-melayang di udara. Semua itu benar-benar menyulut darahku. Hari itu kita sama-sama tertangkap, juga beberapa mahasiswa lain yang ikut digiring ke kantor polisi. Meskipun beberapa hari kemudian, kita dikembalikan ke orang tua masing-masing.
"Aku pernah berpikir apa sih yang sebenarnya kita lakukan ini?"
"Maksud kamu, Halimah?"
"Kita membela hak-hak rakyat dengan cara berteriak-teriak dan sekali adu pukul, sedangkan mereka di gedung sana malah menyeruput kopi sambil menonton televisi. Maksud aku, kenapa kita tidak membela hak-hak rakyat dengan cara lain tanpa harus anarkis?"
"Kita tidak anarkis, Halimah. Namun untuk didengar, kadang kita harus cari perhatian."
Sekarang, aku benar-benar ingin didengar olehmu, Rustam. Pahamkah kau itu? Aku seperti kembali menjadi seorang demonstran yang menuntut keadilan dalam dirinya. Keadilan yang telah kau renggut karena meninggalkanku di hari-hari seharusnya aku bahagia. Sesungguhnya aku pun patut bahagia, dengan atau tanpamu, tapi aku tak sanggup dan masih berharap kau segera kembali.
"Aku dengar kamu akan mendaftar jadi anggota tentara setelah lulus nanti. Apa itu benar, Rustam?"
"Aku memang memikirkan hal itu."
"Kenapa?"
"Aku berasal dari keluarga tentara, Halimah. Bapak dan kakekku seorang tentara."
"Kamu lucu, Rustam."
Kau menatapku heran.
"Kamu melawan negara dan sekarang kamu berpikir untuk membela negara."
"Aku tidak pernah melawan negara, Halimah. Hal ini bahkan tidak kusebut sebagai melawan negara. Kita hanya ingin negara ini berjalan dengan seharusnya tanpa ketidakadilan dari oknum-oknum pemerintah."
"Aku senang mendengarnya. Tapi aku minta satu hal, ketika kamu benar-benar jadi tentara, Rustam, jangan pernah lupakan orang-orang yang pernah ikut berjuang bersamamu."
Kau memang tidak melupakanku, Rustam, kau malah akan segera meresmikan hubungan kita, tapi kau sudah membuat aku tersiksa. Aku benar-benar disiksa rindu. Maka jangan salahkan aku ketika kau pulang, Rustam, kau hanya akan menemukan seorang perempuan yang membenamkan dirinya dengan sebuah luka dan darah hasil tembakan di kepalanya. (*)
Aku hanya perempuan biasa, Rustam. Perempuan yang masih punya hati yang rapuh serapuh ranting kering jatuh meninggalkan pohon yang ketika terinjak kaki-kaki manusia akan patah sendirinya. Jujur, Rustam, aku tak bisa pura-pura kuat ketika dadaku sudah semakin sesak karena luka yang kauberikan padaku. Aku, perempuan yang telah menerima pinanganmu ingin menikah denganmu, bukan menikah dengan luka.
Sudah terbilang empat pekan kau pergi, Rustam. Sudah banyak kerinduan dan kehilangan dan kerterpurukan yang menjeratku. Aku seakan berada di ambang keinginan untuk lepas darimu atau tetap menunggumu di sini sampai kau pulang. Tapi aku tidak tahu seberapa lama aku bertahan sementara aku benar-benar hanya perempuan biasa yang bisa jatuh hati dengan siapa saja. Jika begitu, pulanglah, Rustam. Jangan biarkan aku mencinta selain dirimu.
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kau datang di rumahku bersama ibu dan bapakmu menemui ibu dan bapakku tanpa kabar sebelumnya hingga kami serumah kaget setengah mati. Kami kira kau bercanda tapi matamu yang berbinar, senyummu yang merekah lebar sekali hingga pipi bakpaumu jadi terkikis, menyiratkan kesungguhan yang nyata.
"Saya sudah sangat mencintai anak Om. Saya mohon restui hubungan kami," katamu jantan, lebih jantan dari kata-kata para lelaki yang pernah datang ke rumahku hanya dengan modal cengengesan.
"Kami pasti merestui niat baikmu, Nak." Ayahku membalas ucapanmu dengan bijak pula. Kau tahu, Rustam? Bahagia yang datang ke hatiku ketika mendengar itu lebih besar daripada bahagia yang pernah menghampiriku ketika wisuda S1 dua tahun lalu.
"Kapan acara naik uangnya?" tanya ibumu. Dia tampak lebih bersemangat dari yang aku kira.
"Secepatnya," sambut ayahku.
Semua tanggal penting sudah tercatat. Segala rangkaian adat sudah dilaksanakan. Tersisa kalimat sakral yang mesti kauucapkan di hadapan penghulu demi mengikat janji kita untuk hidup bahagia selamanya. Namun tiba-tiba kaukirimkan guntur tepat di hari-hari bahagiaku. "Aku harus berangkat sekarang, Halimah. Negara membutuhkanku."
Apa kau pikir aku tidak membutuhkanmu sama sekali, Rustam? Apa kau pikir aku tidak akan tersiksa dengan kepergianmu yang entah kembali atau tidak, Rustam? Aku sakit, Rustam. Aku bahkan menangis berhari-hari setelah melihat punggungmu yang lebar dan tegap itu menghilang perlahan demi perlahan.
Kukatakan memang, "Pergilah, Rustam, jika itu benar tugas negara yang harus kaupenuhi. Aku tahu banyak orang yang membutuhkan dan mengharapkanmu di sana. Aku hanya akan mengirimkan doa-doa untuk mengiringi langkahmu." Tapi itu tidak lebih dari caraku untuk membuat kau tidak merasa cemas sama sekali. Padahal kalimatku telah menusuk jantungku sendiri.
"Terima kasih, Halimah, aku janji akan kembali secepat yang aku bisa."
"Janji?"
"Janjiku itu janji seorang kesatria, Halimah. Aku lebih baik mati tertusuk panah ketimbang mengingkari janjiku sendiri."
Kau cium keningku kemudian berbalik. Kau pergi lalu tak kembali lagi. Ke mana janji kesatriamu itu, Rustam? Ini sudah cukup lama kaubiarkan aku dirundung pilu dan hidup dengan luka.
Kenapa juga harus kau yang pergi membela negara, Rustam? Maksudku, kenapa tidak kaucari saja pekerjaan lain yang tak perlu membuat aku merasakan kerinduan dan kehilangan dan keterpurukan yang tiada terkira?
Terlalu pahit rasanya melihat kau mencumbui senjata-senjata, sementara aku di sini hanya mampu menyandarkan wajahku ke jendela kaca sembari melihat angin menerbangkan daun-daun. Terlalu perih rasanya membayangkan kau berada di tengah-tengah kebengisan orang-orang yang bermain-main dengan desing peluru yang ditembakkan berkali-kali, sementara aku di sini hanya mampu tertidur dengan malam-malamku yang penuh dengan suara tembakan dan lelehan darah serta napas kematian.
"Kenapa kau memilih untuk jadi tentara?"
"Aku ingin menjadi bagian dari orang-orang yang melindungi negara? Apa kau tidak bangga calon suamimu menjadi orang yang berjasa untuk negaranya?"
"Tapi aku takut kau terluka. Dan aku takut kau mati."
"Mati itu teman dari sebuah peperangan. Jika Tuhan membiarkan aku mati di medan perang, itu berarti Tuhan mengizinkan aku hidup di surganya."
"Kau bisa hidup di surga dengan cara lain."
"Mendapatkan surga dengan cara jantan itu pilihan terbaik, Halimah."
Kau memang egois, Rustam. Kau hanya memikirkan bagaimana seharusnya kau mati, tapi tidak pernah sekalipun kau berpikir bagaimana seharusnya kau hidup denganku.
Kau ingat, Rustam, kita bertemu saat aksi demonstrasi yang mengakibatkan dua teman kita direset ke kantor polisi. Mereka dituduh sebagai provokator. Saat itu, aku belum benar-benar mengenalmu tapi ketidakbecusan pemerintah saat itu membuat aku harus kenal dengan orang-orang sepertimu. Aku ingin menjadi bagian dari orang-orang yang haknya dicabut. Aku ingin membela rakyat yang diperbudak pemerintah. Kau pun demikian.
Saat malam, setelah kita mengadakan pertemuan di rumah Suardi, rumah yang cukup luas untuk kita jadikan sebagai sekretariat, kau tiba-tiba menawariku jemputan untuk pulang.
"Tidak baik perempuan pulang sendirian," katamu saat itu.
"Aku sudah terbiasa."
"Kalau begitu kau harus mulai terbiasa diantar pulang."
Sejak dulu, kau memang sudah sangat egois, Rustam. Tapi karena malam itu memang sudah sangat larut, aku mau tak mau menerima tawaranmu. Lagi pula aku sebenarnya senang seorang lelaki bergaya mahasiswa organisator dengan rambut keriting yang ditata acak-acakan, jaket kulit yang membungkus kaos bertuliskan Merdeka Tanpa Kata-Kata yang kemudian dilengkapi jins panjang yang sudah disobek bagian lututnya. Aku diam-diam memperhatikanmu karena caramu untuk tetap terlihat berantakan.
Motormu sampai di depan pagar rumahku dalam waktu kurang lima belas menit. Jarak tempuh yang cukup dekat seharusnya..
"Apa kamu yakin akan ikut besok, Halimah?" tanyamu. Ada cemas yang muncul dari sosok berantakanmu.
"Kenapa kau bertanya begitu, Rustam? Aku tentu saja akan ikut. Itu sudah jadi sebuah prinsip."
"Tapi besok akan sangat bahaya untukmu, Halimah. Anak-anak pasti akan lebih agresif dari kemarin. Ini bukan lagi soal pembelaan hak-hak tapi juga tuntutan pembebasan untuk Adi dan Dono."
"Kamu santai saja, Rustam. Aku bisa jaga diri," kataku enteng. Kau tetap menatapku dengan tatapan paling khawatir. Sekarang aku merasakan kecemasanmu. Aku juga takut seperti kau dulu takut aku terluka. Ini seperti upaya balas dendam yang tak pernah tuntas.
Hari itu kita memang sama-sama berjuang, sama-sama membela hak-hak rakyat. Aku bahkan bahagia bisa berada di tengah teriakan-teriakan para demonstran yang haus keadilan. Mendengar letupan senjata para anggota brimob yang dilecutkan ke langit membuat semangatku semakit memburu. Gas air mata yang sengaja ditembakkan. Batu-batu kerikil yang melayang-melayang di udara. Semua itu benar-benar menyulut darahku. Hari itu kita sama-sama tertangkap, juga beberapa mahasiswa lain yang ikut digiring ke kantor polisi. Meskipun beberapa hari kemudian, kita dikembalikan ke orang tua masing-masing.
"Aku pernah berpikir apa sih yang sebenarnya kita lakukan ini?"
"Maksud kamu, Halimah?"
"Kita membela hak-hak rakyat dengan cara berteriak-teriak dan sekali adu pukul, sedangkan mereka di gedung sana malah menyeruput kopi sambil menonton televisi. Maksud aku, kenapa kita tidak membela hak-hak rakyat dengan cara lain tanpa harus anarkis?"
"Kita tidak anarkis, Halimah. Namun untuk didengar, kadang kita harus cari perhatian."
Sekarang, aku benar-benar ingin didengar olehmu, Rustam. Pahamkah kau itu? Aku seperti kembali menjadi seorang demonstran yang menuntut keadilan dalam dirinya. Keadilan yang telah kau renggut karena meninggalkanku di hari-hari seharusnya aku bahagia. Sesungguhnya aku pun patut bahagia, dengan atau tanpamu, tapi aku tak sanggup dan masih berharap kau segera kembali.
"Aku dengar kamu akan mendaftar jadi anggota tentara setelah lulus nanti. Apa itu benar, Rustam?"
"Aku memang memikirkan hal itu."
"Kenapa?"
"Aku berasal dari keluarga tentara, Halimah. Bapak dan kakekku seorang tentara."
"Kamu lucu, Rustam."
Kau menatapku heran.
"Kamu melawan negara dan sekarang kamu berpikir untuk membela negara."
"Aku tidak pernah melawan negara, Halimah. Hal ini bahkan tidak kusebut sebagai melawan negara. Kita hanya ingin negara ini berjalan dengan seharusnya tanpa ketidakadilan dari oknum-oknum pemerintah."
"Aku senang mendengarnya. Tapi aku minta satu hal, ketika kamu benar-benar jadi tentara, Rustam, jangan pernah lupakan orang-orang yang pernah ikut berjuang bersamamu."
Kau memang tidak melupakanku, Rustam, kau malah akan segera meresmikan hubungan kita, tapi kau sudah membuat aku tersiksa. Aku benar-benar disiksa rindu. Maka jangan salahkan aku ketika kau pulang, Rustam, kau hanya akan menemukan seorang perempuan yang membenamkan dirinya dengan sebuah luka dan darah hasil tembakan di kepalanya. (*)
Related Story for Cerpen
,Media
,Romance
3 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dilema pernikahan seorang abdi negara. Dalam cerita itu Rustam belum menikahinya kan? Atau setelah ijab kabul ia pamit, melepaskan sakralnya malam pertama?
BalasHapusBelum menikah dan belum ijab kabul. Ia baru menyelesaikan prosesi lamaran beserta adatnya.
HapusDilema pernikahan seorang abdi negara. Dalam cerita itu Rustam belum menikahinya kan? Atau setelah ijab kabul ia pamit, melepaskan sakralnya malam pertama?
BalasHapus