Selasa, 13 Agustus 2013

Cerpen Petuah pada Korupsi

Pengarang: Justang
Judul: Petuah pada Korupsi

Berasa jemu mendesak benak ketika penat harus terus menatap siaran berita yang berisi itu-itu saja. Korupsi. Puluhan pejabat yang mengaku dirinya agung pada tahta mereka tak pernah jera sekalipun untuk terus menikmati uang suapan. Uang para rakyat yang telah menanggung derita petingginya.

Ibuku sudah merasa geram dengan perlakuan mereka. Mau dibawa kemana negeri ini jika di dalamnya hanya menampung orang-orang yang tak tahu malu mencuri uang rakyat? Korupsi seakan telah menjadi budaya nasional yang tak pernah jemu merasuki negeri ini.

Bahkan hingga sekarang ketika ibuku sudah terambang sakit, merintih dan tak berdaya di atas ranjang biru rumah sakit terus memohon padaku tak mengikuti jejak para penghuji jeruji besi itu. Dia bahkan rela mati jikalau uang yang digunakan untuk menyembuhkannya adalah hasil korupsi. Aku pun menggenggam erat petuah ibuku itu.

Hari ini jadwalku untuk membesuk ibu di rumah sakit. Aku ingin mengetahui kondisi terakhirnya ketika ia telah divonis menderita penyakit kanker payudara. Aku sangat kasihan ketika harus melihat ia terus menyeret penderitaanya hingga ke ruang perawatan. Apalagi dia adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki karena anak tunggal dan ayah telah meninggal lama karena kanker otak. Sementara sanak saudara lainnya entah ke mana perginya.

“Pak, Ibu Ambar itu ibu Anda?” tanya seorang dokter pria berpakaian seragam putih rapi bersih ketika melihat aku berjalan menuju ruang ibuku dengan tergesa-gesa. Ya, dia pasti sudah tahu karena aku telah sering mengunjungi ibuku sejak masuk seminggu kemarin.
“Benar. Bagaimana kondisinya sekarang?”
“Begini Pak, ibu Anda harus segera dioperasi karena kondisinya makin kesini makin tak karuan. Jika tidak segera dilakukan,” dokter itu diam sejenak dan aku menahan napas khawatir pada ibu. “Saya khawatir ibu Anda tak akan selamat,”

Aku mendesah. Menundukkan kepala. Aku tak tahu harus bagaimana. Mengingat biaya operasi itu sangatlah mahal. Tak cukup meski terus kukorek kantongku sedalam-dalamnya. Aku hanya seorang pegawai biasa yang bergaji minim. Membiayai ibu masuk ke rumah sakit tanpa operasi saja terasa sudah berat. Hmmm, Akhhhh.

“Dok, nanti aku hubungi lagi soal biaya operasinya,” kataku lalu segera berjalan menuju ruang perawatan ibuku.

Sehabis dari menjenguk ibu. Segera kutinggalkan rumah sakit menuju kantor. Ketika tiba, seorang pria berperawakan rendah, badan gemuk besar dan dengan kumis tebalnya merangkai di atas bibir berdiri di depan pintu tempat kerjaku.

“Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku segera menghampirinya dan menyuruh masuk dan duduk.

Ia pun duduk di atas kursi yang telah tersedia di depan meja kerjaku. Tubuhnya lalu merasuk ke dalam kursi itu. Karena badan besar yang dimilikinya membuat kancing bawah kemejanya terlepas. Aku tersenyum kecil tapi tetap bersikap hormat padanya.

Dia menghela napas dan mengambil ancang-ancang untuk berbicara. “Pak, saya butuh surat tanah itu dikerjakan secepatnya. Seseorang yang mengaku pemilik tanah itu ingin menggusurku. Jadi, kalau perlu saya akan tambahkan beberapa uang,” ungkapnya dan menyodorkan amplop putih tebal ke atas meja.

Aku berpikir sejurus. Terus memikirkan pernyataan bapak itu. Ahh, apa ini yang Tuhan telah takdirkan kepadaku untuk menyembuhkan ibu? Ini benar-benar kesempatan besar. Melihat amplop putih itu yang begitu tebal pasti berisi kisaran uang yang lumayan. Tapi, bagaimana dengan petuah ibu untuk tak mengambil uang suapan. Ini sudah benar-benar korupsi. Pikiranku berkecamuk. Aku terjerat kebingungan. Mengambil uang itu atau tidak. Sekarang pilihan itu ada pada tanganku.

Aku menarik napas sedalam-dalamnya. Keringatku mulai berpancaran turun. Tanganku gemetar menggenggam bolpoin di tangan kananku. Kutatap wajah bapak itu yang semakin cemas menanti keputusanku. Lalu akhirnya aku berdiri dari kursi dengan perasaan masih berkobar.

“Maaf!” putusku lalu kutinggalkan bapak itu bersama secarik kertas yang kusisipkan padanya. Berjalan keluar meninggalkan beban yang menghantuiku bersama bapak itu.

Ketika esok hari telah tiba. Tepat pukul 09.00 pagi kuberangkat naik taksi. Bergerak menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Kulihat dokter dan dua juru rawat wanita berseragam serba hijau mengenakan masker hijau pula berjalan menuju ruang operasi. Mereka menatapku balik.

“Pak, ibu Anda siap kami operasi. Silahkan serahkan semua pada Tuhan karena kami akan berusaha semaksimal mungkin,” ungkap dokter itu.

Aku menganga. Perasaanku mulai menghujat cemas. Apa ini berkah ketika ibu akhirnya masuk ruang operasi? Aku pun tegang menanti operasi yang berlansung sangat lama. Berjalan bolak balik di depan ruang operasi.

Tak tik tuk. Detak jantungku terus diikuti jam yang terus berdetak. Tak terasa waktu telah habis hampir tiga jam lamanya. Aku masih menanti. Berharap-harap cemas dan tak sekali aku menghujam doa demi kesembuhan ibuku.

Setelah menanti cukup lama dengan rasa khawatir yang menjunjung tinggi. Akhirnya seorang dokter keluar dari ruang operasi. Kutatap wajahnya yang gelisah dengan masker yang masih dikenakannya. Lalu dilepaskannya masker itu dan berbicara.

“Pak, mohon maaf! Kami telah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkata lain. Ibu Anda.. .”
“Ibuku kenapa dok?” tukasku sembari menarik-narik seragam dokter itu dan jantungku makin berdetak kencang
“Operasi yang dilakukan gagal. Ibu Anda tak dapat kami selamatkan. Ia meninggal,” jelasnya dan membuat hatiku remuk seketika.

Aku menganga panjang. Terdiam dalam derita. Membeku pada jeritan nestapa. Air mata bahkan habis disedot penyesalan. Aku menjerit lantang. Menangis tanpa air mata setetespun. Aku menyesal. Sangat menyesal.

Ibuku pernah berkata bahwa ia rela mati jika uang untuk menyembuhkannya adalah hasil korupsi. Ternyata itu bukan sekadar petuah, kalimat atau rangkaian kata-kata tapi itu adalah doa. Aku tak percaya kini kata-kata itu menjadi nyata. Aku bak ditampar rasa sesal. Biaya operasi memang hasil korupsi, hasil suap dari bapak sebelumya. Aku meninggalkan secarik kertas sebagai persetujuan tapi berharap ia mengirim ke rekening dan bukan uang tunai jadi aku meminta maaf atas pengertiannya.

Tapi kini telah terlambat. Nyawa ibu telah menghilang karena kebodohan dan rasa tak tahan diriku untuk tak mengambil uang itu. Aku tak pernah sedetikpun berpikir bahwa Tuhan punya rencana lain selain harus korupsi tapi pikiranku saat itu pendek. Aku kebingungan.

Watampone,130813

Untuknya yang tak jemu pada uang hitam


Related Story for Cerpen ,Fiksi ,Keluarga

Comments
1 Comments

1 komentar:

Terima Kasih telah menyempatkan diri untuk membaca artikel di atas. Sekarang waktunya untuk memberikan komentar, saran, kritik atau masukan demi karya yang lebih baik lagi. Buat kalian yang tidak memiliki akun google, bisa diganti dengan NAME/URL