Sabtu, 03 Januari 2015
GALAU? Curhat
Sama Allah
Oleh: Justang
Zealotous
Ya Allah, masih kuingat kala itu, di
mana kegelisahan menghantui hidupku. Maka, izinkanlah aku curhat padaMu karena
tempat curhat terbaik hanya padaMu.
Jika
masa putih abu-abu kita masih bisa bersantai ria sambil mojok bareng teman di
kafe tanpa peduli dengan dunia yang akan digenggam nantinya, maka masa kampus
bukan lagi waktunya untuk bersifat labil. Dunia nyata akan segera disambut,
siap tidak siap mesti bertarung dengan otak atau otot yang dipunya.
Seperti
halnya ketika gerbang SMA telah kulewati. Aku mesti siap menjadi mahasiswa dan
pertarungan segera terjadi. Dari katanya saja, maha dan siswa. Itu berarti
bukan sekadar pelajar ingusan yang disuapi ilmu tapi sudah saatnya mencari ilmu
dan memakannya sendiri.
Setelah
memilih program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Segera pula
pengalaman kucari untuk menunjang tujuan utama nanti, menjadi seorang guru. Di
antaranya, gabung pada organisasi kepenulisan. Biar kepercayaan diri bisa
meningkat.
Aku
juga ikut kursus Bahasa Inggris. Bukan tanpa sebab, melainkan bahasa yang satu
itu kuanggap sebagai bahasa dunia. Jika ingin menguasai dunia, maka kuasai dulu
bahasanya. Selain itu, seseorang yang sudah seperti keluarga tiba-tiba
mengajakku bekerja di travel, ini
bisa jadi pengalaman yang paling berharga, pun penambah uang jajan.
Semua
terasa terkendali walau mesti kuliah, kursus, kerja. Beban yang paling besar
kupikul tentang waktu. Tentang bagaimana mengatur jadwal yang sudah semakin
sibuk. Pergi pagi terus pulang sore, saat malam juga kadang mesti kerja lagi.
Malahan Ibu pernah menyindir dengan sindiran halus, kayak artis saja yang tidak
punya waktu untuk keluarga, katanya. Aku hanya mampu menggeleng pasrah, karena
kutahu dari usaha besarku ini akan menghasilkan hal yang besar pula. Itu memang
butuh proses, walau lama.
***
Hingga
pada satu waktu, semua terasa morat marit. Aku bahkan bingung kenapa itu mesti
terjadi. Jadwal kuliah dan kursus adakalanya bertabrakan. Kalau soal kerja,
pada dasarnya memang seperti keluarga, dia membebaskanku masuk kapan saja
ketika ada waktu luang walau kadang tidak sampai hati jika tak pernah masuk
karena jadwal kuliah dan kursus padat.
Aku
berusaha memperbaiki semua waktuku dengan baik. Tapi, teman satu ruangan di
kursus malah bertindak egois atau jadwal kuliahnya juga padat. Semakin bingung
karena memang cuma aku yang prodi bahasa Indonesia, sementara lainnya berasal
dari prodi bahasa Inggris. Tentu satu-satunya penghalang mereka hanya aku.
Pernah
kuminta untuk privat ketika memang tak ada waktu yang cocok untuk belajar
bersama. Namun, kata instruktur yang mengajar di tempat kursus, pasti ada jalan
keluar dari semua itu. Yah, aku tahu itu tapi akan terlalu menghabiskan banyak
waktu jika terus memikirkan jalan keluarnya.
Setelah
berembuk mengenai jadwal kursus yang tepat dengan teman lainnya. Akhirnya kita
punya jalan keluar itu, beberapa hari yang harus kuisi dengan kursus dan
mengabaikan sejenak kerja di travel.
Walau dari itu, sesekali kursus dibatalkan saat ada kuliah mendadak.
Teman-teman pun mulai sering menyalahkanku sebagai pengganggu.
Aku
tak mungkin berhenti kursus hanya karena dicap sebagai pengganggu. Aku juga
punya tujuan utama, pun sama-sama sebagai pelajar di tempat itu. Jadi, mesti
tanggung resiko pada setiap yang terjadi.
***
Memang
masih kelimpungan pada pengaturan jadwal. Tapi, aku mesti cermat mengatur waktu
agar semua itu berjalan dengan baik.
Setelah
seharian kuliah, kursus, juga kerja. Kulihat pembayaran sedang menenggak bulan
itu. Ekonomi keluarga yang menengah ke bawah membuatku harus ekstra berpikir
untuk membiayai kursus selama per bulan. Mau bagaimana lagi? Kemauan untuk
kursus ada pada diriku sendiri.
“Berhenti
dari kursus saja. Toh, sama sekali tak ada hubungannya bahasa Inggris dengan
jurusan yang kau punya,” protes Ibu. Kakak malah ikut mojokin.
“Bukan
soal ada hubungannya atau tidak, Mak. Tapi, bahasa Inggris itu penting,”
balasku membela diri.
“Kalau
penting, kenapa tidak awal pilih jurusan bahasa Inggris saja?”
“Dari
niat, kan, memang sudah mau bahasa Indonesia.”
“Terus
liat tuh! Mau biayain kuliah kamu aja sudah ribet. Tambah lagi kursus. Sudah
kerja malah gaji tak memuaskan.” Ibu naik pitam. Aku tak mungkin diam saja
karena sadar semua ini sudah sepatutnya harus dilakukan.
“Iya,
Mak. Insya Allah, dari semua ini kita pasti dapat yang lebih baik, kok.
Prosesnya saja yang butuh waktu lama.” Aku meyakinkan. Ibu tersenyum, namun
bukan senyum kelegaan.
Ibu
masih saja durja. Bahkan terus memaksaku untuk berhenti di kursus atau cari
pekerjaan lain yang lebih membantu keuangan. Namun, aku tak bisa memilih. Aku
mesti melakukan keduanya karena punya sasaran utama yang harus dituju, sebuah
kesuksesan. Jika aku berhenti di kursus, tak lagi ada ilmu penunjang untuk masa
depanku.
Setelah
berdebat dengan Ibu yang membuatku kian detik harus menelan ludah. Hari yang
kujalani semakin amburadul. Bukan karena apa, tapi itu terus menjadi beban
pikiranku.
Soal
waktu, bisa saja kuatur semaksimal mungkin, tapi kalau soal biaya malah buatku
nelangsa. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa untuk meringankan beban
keluarga atas biaya yang kutanggungkan.
Kau
tahu? Gaji yang kudapatkan bekerja di travel
itu sungguh hanya sebagai uang jajan karena masuk kerja memang tidak intensif.
Selain itu, travel yang dibina masih
baru dan sosialiasi pada masyarakat pun masih jarang. Terkadang dalam seminggu cuma
bisa menjual tiga sampai empat tiket, itupun kalau beruntung. Bagaimana bisa
mendapatkan gaji yang besar?
***
Suatu
hari, ada pesan singkat yang masuk di ponselku kalau ada kursus pukul 1 siang,
sementara bos di travel menghubungi
kalau ada yang pesan tiket dan mesti kukerjakan segera. Pada pagi hingga siang,
jadwal kuliah padat dan tak mungkin kutinggalkan.
Dengan
penuh percaya diri, kuyakinkan pada hati bisa menyelesaikannya dengan baik. Aku
pun mengikuti kuliah secara disiplin. Saat pukul 1 siang tiba, segera
kulangkahkan kaki menuju tempat kursus.
Aku
menunggu begitu lama, setidaknya ada setengah jam berlalu namun belum juga ada
seorang pun yang datang. Bos terus saja menghubungi atas tiket tapi tetap saja
kuabaikan karena menunggu kursus mulai.
Setelah
hampir setengah tiga, tiba-tiba pesan singkat masuk ke ponsel memberitahukan
kalau kursus hari itu dibatalkan dengan alasan tak ada yang bisa masuk, katanya
sih capek. Berang rasanya mendapatkan info itu. Kenapa alasan capek jadi
penghalang semuanya? Aku juga capek. Bahkan sangat capek. Aku mengelus dada dan
berusaha sabar menerima.
Kemudian,
segera aku menuju ke tempat kerja. Di sana tak ada bos. Dengan perasaan masih
gusar, aku langsung mengerjakan tugas untuk pesan tiket buat seseorang yang
sedari tadi menghubungi. Setelah berunding lewat telepon tentang harga dan
segalanya. Pekerjaan itu akhirnya selesai. Aku menghembuskan napas lega.
Tiket
yang dipesan sudah kucetak dan siap diberikan. Bos akhirnya datang saat sore
harinya.
“Bagaimana
dengan tiket yang dipesan tadi?” tanyanya.
Aku
menyodorkan amplop berisi tiket itu padanya. Dia menerima dengan senang hati.
Perasaanku agak sedikit tenang dibuatnya. Setelah tiket itu berulang kali
dibacanya, matanya membelalak tajam. Aku bingung namun tak berani kutanya
mengapa.
“Coba
cek tanggal keberangkatannya?” Dia mulai bertanya. Jantungku berdegup kencang.
“Hari
ini, Pak,” jawabku dengan pasti.
“Hari
ini? Itu beberapa jam yang lalu dan artinya tiket ini sudah kedaluwarsa. Mana
mereka sudah bayar lagi.” Wajahnya memerah.
Aku
menunduk malu. Ya Allah, apa yang telah kuperbuat? Batinku. Semua seperti
bertimbun-timbun banyak sekali membebaniku. Di mana aku harus mengganti uang
yang ratusan ribu itu, bahkan hampir sejuta? Uang kursus saja aku masih
kelayapan. Ingin rasanya teriak dan menghunuskan pedang ke jantung begitu saja.
Betapa bodohnya aku!
Lalu,
aku pulang dengan perasaan paling gundah. Aku benar-benar galau. Wajahku sedari
tadi begitu masam memikirkan uang yang mesti kuganti. Ibu yang memperhatikan
diriku tak banyak tanya. Aku pun juga lebih memilih diam. Tak pernah
kuceritakan masalah ini, biar kutanggung sendiri.
Ketika
malam merangkak datang, tak pernah tenang jiwaku. Makan pun terasa tak enak.
Setiap ibu mulai bertanya, aku hanya bisa menjawab kalau tak dalam masalah. Aku
benar-benar tak ingin melibatkan Ibu ataupun yang lainnya ke dalam masalahku,
pun sebenarnya aku malu akan semua ini.
Malam
semakin malam, tak juga lelap tidurku. Kesalahan fatal tadi terus menghantui
diriku, bahkan tiap memejamkan mata terus kuingat kejadian itu. Ya Allah, apa
yang terjadi padaku? Lalu, kupikir untuk segera mengambil wudhu.
Meski
memang tak lelap, tapi aku sudah tidur walau hanya sebentar. Aku pun salah
tahajud untuk memohon dan berserah diri karena kutahu hanya Allah kini tempat
mengadu. Tak ada teman curhat terbaik selain padaNya.
Usai
melaksanakan dua rakaat, aku menengadahkan tangan dan memanjatkan doa. Terus
kumohon agar diberikan ketenangan jiwa dan hati. Dilancarkan segala urusan. Aku
tahu, tak ada yang berjalan dengan percuma di dunia ini, pasti semua ada hikmah
di baliknya. Di sela-sela berdoa, setetes bening di sudut mataku terjatuh
membasahi pipi.
***
Pagi
harinya, aku masih belum bisa melupakan kejadian sebelumnya. Namun, aku
berusaha bangkit dari keterpurukan ini. Begitupun ketika berada di kampus,
teman-teman memperhatikanku dengan penuh selidik. Mereka mungkin agak bingung
dengan tampangku yang terlihat bungkam. Walau sekali-kali aku berusaha
menciptakan senyum itu pada mereka.
Saat
kembali di tempat kerja, sejujurnya aku tak ingin masuk hari itu karena masih
sangat malu dengan yang kemarin tapi mesti bersikap profesional. Bos juga
memperhatikan aku agak berbeda, tentu dia tahu mengapa aku terlihat durja
begitu.
“Tak
perlu sedih. Lupakan saja soal kemarin! Itu memang resiko kerja. Kalau begini
saja kamu tidak kuat, bagaimana nantinya ketika kamu sudah kerja di perusahaan
yang besar. Kau tahu? Semakin besar seseorang maka semakin besar pula resiko
atau beban yang mesti dipikulnya,” ucapnya. Aku hanya bisa mengangguk lemah.
“Ya
sudah, cepat ambil barang-barangmu!” suruhnya yang membuat aku bingung. Apa dia
ingin mengusirku?
Lalu,
tiba-tiba dia membonceng dan membawaku ke suatu tempat. Aku terus
bertanya-tanya dalam hati entah ke mana dia akan pergi. Aku bahkan semakin
kaget ketika ternyata dia singgah di warung makan. Katanya sih dia ingin
mentraktirku makan agar aku tidak muram lagi. Aku benar-benar tidak mengerti
tapi sungguh baik yang dia tunjukkan padaku. Bahkan dia menyuruhku untuk
melupakan soal uang itu.
Entah
sekarang perasaanku sulit digambarkan seperti apa. Sejujurnya aku masih gelisah
karena bagaimanapun juga itu semua salahku. Tapi, ketika dia memintaku untuk
melupakannya, sedikit mengurangi kegelisahan itu. Ketika di rumah, Ibu
tiba-tiba menghadang langkahku. Entah apa lagi yang ingin Ibu debatkan.
“Ini,
Nak, untuk biaya kursusmu! Semoga kau bisa meraih yang kau impikan itu.” Ibu
menyodorkan uang dan seakan menghapuskan semua rasa gelisah di dadaku.
Watampone,
20 November 2014
Related Story for Curhat
,Motivasi
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)