Minggu, 24 Maret 2013

Love Story : Air Mata Senyuman

Angin sepoi-sepoi terhembus melewati celah jendela kamarku pagi ini. Aku masih teringat, sekitar beberapa bulan yang lalu sang ibunda tercinta merangkulku dengan penuh kasih sambil menatap gulungan awan putih. Namun kini semua terasa berbeda bagiku ketika ia pergi meninggalkan diri ini. Semua ini terjadi karena perceraian antara ayah dan ibu dan membuat sebuah keputusan meja hijau, jika aku harus serumah dengan ayah. Ini sungguh membuat aku tersiksa, ditambah lagi ayah yang seakan melantarkan aku, ia jarang pulang ke rumah, bahkan hingga satu bulan pun ia tak kunjung pulang. Aku tak mengerti dengan sikapnya, aku pun tak tahu apa yang ia lakukan di luar sana.
Akibat peristiwa menyedihkan tersebut, kini aku telah dibalikkan oleh keadaan. Hidupku terpuruk, gelap tiada berwarna. Ku mempunyai seorang ayah, tapi ia menganggapku seolah tak ada. Ku berusaha mencari ibu, tapi ku tak tahu ia dimana. Aku menganggap dunia ini kejam, tak peduli dengan diriku. Ku mencoba mengakhiri hidup tapi tak ada guna.
Jika terus memikirkan hal itu, membuat aku pusing tiada tara. Bersyukur hari ini adalah hari minggu, hari libur nasional untuk semua sekolah se-Indonesia. Jadi ada waktu untuk menenangkan pikiran dengan terus merenung dan memenjarakan diri dalam kamar yang luasnya hanya beberapa meter tersebut. Setelah berusaha berdiam diri beberapa jam tanpa suara dan dentuman lagu, seperti biasanya sekitar jam 1.30 siang, di samping rumahku selalu membakar sampah dan membuat asapnya menyusup hingga kamarku. Jujur, ini sama sekali mengganggu, tapi sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan mereka dan setiap kali aku menegur, mereka malah balik membentak. “Siapa ko?” adalah kalimat yang mereka sering katakan dengan aksen bugis yang masih kental tiap kali aku menegur. Daripada cari ribut, lebih baik cari makanan saja untuk ngisi perut aku yang sudah kosong ini.
Warung yang dekat dari rumahku berada di pinggir jalan, sedangkan rumahku sendiri berada di dalam lorong sempit sekaligus buntu. Ketika sampai di warung, aku hanya pesan nasi putih dan gorengan ikan. Ini memang sudah cukup, tapi biasanya saat ibu masih ada disisiku ketika aku makan siang, ia selalu membelikan nasi konro, makanan khas bugis Bone. Menyantap makanan seadanya telah membuat diriku sudah puas makan. Sekarang waktunya untuk kembali ke kamar dan aku berharap tetanggaku sudah tak membuat asap lagi agar aku bisa menenangkan diri kembali.
Tak terasa malam telah gelap, bendungan langit hitam siap menjelma, matahari telah kembali tenggelam bersama dengan sinarnya. Waktunya bintang dan bulan menghiasi langit malam. Aku pikir, ayah pasti belum pulang tapi entah mengapa malam ini ia pulang dengan cepat, aku tak tahu apa yang terjadi. Ingin bertanya, tapi suasana hati sedang tak mendukung. Mungkin saja, ia pulang cepat karena sudah tak ada pekerjaan lagi di luar sana. Jika seperti demikian, aku lebih memilih untuk lansung mendarat di atas ranjang besi. Menikmati tidur di malam yang panjang ditemani kedua bantal guling yang selalu setia.
Setelah melampiaskan malam dengan tidur pulas. Matahari sudah kembali dari peraduannya, siap untuk membakar diri demi pancaran sinar yang menerangi hamparan bumi. Di pagi hari yang cerah ini, aku sudah bangun sekitar jam 5.00 pagi, mengingat hari ini adalah hari Senin, pastinya akan ada upacara bendera di sekolah. Selain itu, jarak tempuh yag harus aku lalui menuju ke sekolah sangat jauh, sekitar beberapa kilometer jauhnya. Aku harus bergerak cepat agar tak ketinggalan angkot yang selalu nangkring di depan jalan dan sekalian biar tidak terlambat.
Seragam kebanggaan sekolah, tas punggung hitam, disertai dengan sepatu yang agak rusak telah kukenakan. Waktunya untuk bergegas sekolah, untungnya angkot belum jalan, jadi aku masih bisa ikut. Sampai di sekolah, aku melihat dengan pandangan yang berbeda dibandingkan dengan saat kehidupan aku masih cerah, belum ada pergolakan orang tuaku. Kini, aku datang bersama wajah murung dan perasaan tak karuan. Upacara berlansung dengan penuh keheningan, hanya teriakan komandan upacara dan pengibaran bendera merah putih disertai dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang memeriahkan suasana.
Upacara selesai, semua siswa kembali ke ruang kelas masing-masing. Perasaanku masih sama, tak karuan. Di kelas, aku melihat banyak teman yang menatapku dengan pandangan tajam, wajar saja aku baru masuk setelah tak ke sekolah  selama tiga hari karena perasaan yang depresi berkepanjangan. Mereka semua bertanya pada keadaanku, namun sepatah kata pun tak ada jawaban yang kukeluarkan, aku hanya menatap mereka dan lansung berpaling. Mereka pergi dan aku merasa bersalah, namun inilah aku, seakan tak kenal lagi dunia. Menjadi siswa pasif di kelas memang bukan diriku, siswa aktif dan sering bicara itulah aku. Tapi karena peristiwa menyedihkan kemarin membuat aku seperti ini, tak ceria.
Sementara pelajaran berlansung, tiba-tiba seorang gadis perempuan masuk ke kelasku. Setelah mendengar informasi dari guru pembimbing, aku baru tahu kalau ia ternyata adalah siswa baru. Gadis ini sangat menawan, kulit yang putih bersih, mata yang ayu, rambut lurus panjang, muka yang tirus, dan warna merah merona di pipinya. Sesuatu yang membuat aku makin tersanjung adalah ketika ia menampakkan senyuman indahnya, hal itu lantas membuat aku bagaikan melayang di udara bersama taburan mawar merah.
Hatiku seakan berwarna karenanya, tapi aku tak mengerti dengan perasaanku yang tetap saja beku. Seakan masih menganggapnya gadis biasa yang tak ada istimewanya dalam hatiku. Hal itu tentu saja membuat aku kebingungan, aku bahagia karenanya tapi perasaan hatiku belum juga mampu menerima kebahagiaan. Akibatnya aku hanya masih diam membisu. Berada di dalam kelas, yang aku lakukan hanya diam terpaku sembari menatap guru yang menjelaskan yang entah aku tak mengerti apa yang ia jelaskan. Selain itu, tak sekali aku sempatkan untuk menatap gadis yang tadi. Aku terus membayangkan dalam benakku dengan menggunakan perasaan yang gelap bahwa “Apa aku bisa bersama dia, duduk dalam suatu tempat duduk yang dihiasi oleh jutaan bunga disertai pakaian adat baju bodo, baju khas bugis?”.
Matahari sudah berada di atas puncaknya, ia bagaikan membakar dunia dengan jilatan api raksasa. Siang hari yang cukup panas di daerahku ini, membuat tubuh seakan tak mampu untuk berjalan. Lonceng berbunyi bertanda untuk pulang, semua siswa saling berdesak-desakan untuk keluar ruangan. Namun di sisi lain, aku hanya menatap mereka dengan perasaan yang masih sama seperti sebelumnya. Panasnya terik matahari disertai dengan hembusan pasir yang berterbangan, membuat aku agak susah bernafas. Untungnya angkot yang biasanya aku tumpangi datang dengan cepat, jadi tak membuat aku makan siang dengan debu lebih lama. Saat di angkot, aku terheran dan sekaligus senang, ketika siswa baru yang telah menyejukkan perasaanku ternyata juga menaiki angkot yang sama denganku. Awalnya aku terus terdiam, tapi ketika suasana mulai mendukung akhirnya aku menampakkan wajah ceria untuknya dan kami pun saling berbincang-bincang. Perbincangan diawali dengan perkenalan, namun lama kelamaan lansung merujuk pada hal yang berhubungan dengan kisah lucu hingga bertabrakan dengan kisah mengguncangkan jiwa. Aku sangat senang dengan ia, karena pembicaraan kami selalu nyambung.
Sejak pertemuan saya dengan ia di dalam angkot saat itu, setelah banyaknya pembicaraan yang dikeluarkan selama berbulan-bulan, akhirnya timbul perasaan suka padanya. Aku yang masih terlihat lugu, memang belum mampu untuk mengeluarkan isi hati. Hingga suatu ketika, kami dan teman kelas lainnya, menuju ke sebuah desa untuk liburan akhir semester. Saat itu aku hanya berdua dengan ia menuju ke sebuah sungai kecil, aku memang mengajaknya duluan dan meninggalkan teman yang lainnya. Sebenarnya aku punya maksud lain dari semua itu, aku berharap ketika aku mengungkapkan perasaan ditemani percikan air dan ikan-ikan kecil yang berenang dengan riang gembira, ia bisa menerima aku. Tapi ternyata dugaan aku salah besar, ia menolakku dengan alasan masih dalam keadaan berduka ketika ia baru ditinggalkan kekasih lamanya. Hatiku seakan rontok, tersiksa dan tak terkendali lagi meski ia berkata kalau ia ingin meminta waktu untuk menenangkan diri dahulu. Aku pun berkata balik bahwa aku siap menunggunya, meski itu adalah seabad.
Seiring berjalannya waktu, dari hitungan detik hingga ke bulan-an. Aku kembali menyanyakan ia dengan pertanyaan yang sama, yaitu apakah ia ingin menjadi orang yang mengihasi hatiku?. Setelah berharap yang cukup lama, ternyata ia tetap saja menolak. Namun, bukan dengan alasan yang sama beberapa waktu lalu tapi dengan alasan bahwa ia telah mempunyai dambatan hati yang lain. Hal itu lantas saja membuat aku tak habis pikir dan juga begitu sakit hati. Tapi apa daya itu adalah pilihan dia, jadi aku hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Kejadian pedih itu ternyata membuka jendela cahaya bagiku, aku kemudian teringat saat waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Saat itu, hidupku masih kelam, belum ada sedikitpun cahaya yang menyusup dalam ruang lubuk hatiku. Ketika aku melihat paras wajahnya yang elok, memberikanku kesadaran bahwa dunia tak sejahat katanya. Pelangi tiba-tiba membentur hatiku dengan goncangan asmara. Wanita itu membuatku jatuh hati dibuatnya. Namun sayang, cinta berkata lain padaku, ia tak menerima perasaan jiwa yang kuberikan. Meskipun begitu, aku tetap berterima kasih padanya bahwa ia telah mengajarkan tentang dunia itu tak selamanya indah, ada saatnya kesusahan, kesedihan menimpa kita. Tapi itu tidak dijadikan sebagai batu yang akan menghancurkan namun menjadikan batu yang membatu untuk berdiri tegak.


Related Story for Cerpen ,Fiksi ,Romance

Comments
1 Comments

1 komentar:

Terima Kasih telah menyempatkan diri untuk membaca artikel di atas. Sekarang waktunya untuk memberikan komentar, saran, kritik atau masukan demi karya yang lebih baik lagi. Buat kalian yang tidak memiliki akun google, bisa diganti dengan NAME/URL