Selasa, 10 September 2013
Dunia yang pernah kita genggam, tempat kita mengadu nasib adalah sesuatu yang fana. Tak secercah di dalamnya yang hidup kekal. Termasuk manusia, makhluk sempurna dibanding makhluk lainnya ciptaan Tuhan.
Akhirnya setelah perdebatan tentang kematianku, aku pun dibawa oleh mahkluk halus agak kasar ke alamnya. Hal-hal yang tampak aneh terpandang jelas di mataku, gelap dan hitam.
“Pak atau Mas atau Bang, terserah. Aku mau dibawa kemana sih?” keluhku.
“Tidak perlu banyak tanya. Lebih baik kau ikuti saja aku,” jelasnya seraya terus menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku sudah seperti tahanan yang ditenteng polisi.
Kami terus berjalan melewati lorong panjang nan gelap plus suram. Hanya suara yang berdesis yang mampu aku tangkap melalui indra pendengaranku. “Aauuuuu… ,” sebuah lolongan serigala menyeringai seketika di belakangku terdengar dan membuat kaget setengah mati meskipun aku memang sudah mati.
Beberapa langkah telah dilalui dan tiba-tiba tempat itu menjadi terang benderang bagai perang yang mengerang. Lampu warna-warni jadi penghias dan membuat mataku agak silau. Setelah hitungan detik, beberapa gadis cantik nan seram keluar dengan pakaian serba putih, rambut panjang yang menjulur ke bawah, riasan tebal dan mata yang melotot berjalan ke arah kami sambil terus menari pinggul.
“Tadaaaaa! Selamat datang di alam kematian. Tempat semua makhluk yang sudah pasti mati, hihihihihih,” teriaknya serentak sembari menunduk sebagai tanda penyambutan dan tiba-tiba menghilang seketika. Makhluk yang aneh.
Penyambutan semenit yang lalu adalah penyambutan yang paling mengharukan dan luar biasa terburuk yang pernah kulihat. Meski demikian, hal itu menjadi penghibur di kala hati sedang terterpa musibah kematian. Tak cukup sambutan yang menyerukkan kening, hal yang tidak lazim terus menghiasi tempat itu. Seperti beberapa bidan juga tampak hadir di alam yang katanya kematian ini.
“Kenapa di sini ada bidan? Alam kematian atau rumah sakit?” tanyaku penasaran.
“Bidan untuk membantu proses kelahiran kunti yang beranak dalam kubur,” jawabnya sinis plus sok manis.
Setelah berjalan cukup lama bersama makhluk yang setengah membosankan ini, akhirnya kami tiba di ruang kostum. Sangat jelas dengan tulisan KOSTUM yang terpampang pudar di pintu tersebut. Kubuka pintu perlahan dan beberapa pakaian yang masih serba putih tertata rapi dengan gantungan besi masing-masing. Aku pun mencari pakaian yang kuinginkan sebelumnya, yaitu kemeja putih dengan rompi dan dasi abu-abu. Mencari di sela-sela pakaian putih dan akhirnya ketemu, jadilah aku hantu paling modern nan tampan sejagat hantu. Kupamerkan pada makhluk pencabut nyawa itu dan dia malah tersenyum kecut. Biasa, makhluk zaman dahulu.
“Meskipun pakaian yang kaukenakan begitu rapi dibanding yang lain, tapi kamu tetap terlihat norak dan ngga cool,” ungkapnya sok imut.
“Sirik! Bilang aja kalau kamu iri karena aku lebih tampan daripada kamu, wajah hitam dan gelap plus kelam plus suram plus kusut plus pekat plus….”
“Berhenti! Kamu benar-benar hantu paling menyebalkan yang pernah aku tangani. Jika bukan perintah, maka aku ogah banget mencabut nyawamu. Ayo, ikut aku lagi dan kubawa engkau ke kuburanmu. Tidurlah kau di sana!” ungkapnya kesal dan kembali menarik-narik tanganku untuk ikut dengannya.
Sejujurnya, malas banget harus ikut dengannya lagi. Tapi, kalau aku tidak ikut, maka aku harus kemana. Tempat ini aja, aku tak tahu di mana. “Huffthh, semoga ini detik-detik terakhir aku bersamanya,” gumamku dalam hati berharap.
***
Di tengah perjalanan menuju ke tempat pembaringanku. Sekawanan hantu berbagai jenis berlari-lari penuh semangat seakan sedang mengejar sesuatu. Satu pocong yang lompat-lompat penuh lelah berada di barisan paling depan di antara semua hantu di belakangnnya. Sepertinya dia adalah sasaran utama dari kejar-kejaran tersebut. Mereka berlari menuju ke arah kami, perlahan dan semakin dekat mengerumuni kami. “Ke tepi!” teriak makhluk pencabut nyawa itu menuruhku ke tepi untuk menghindari kerumunan hantu-hantu yang berlari. Aku pun segera menepi.
Hsyuuttt! Lari mereka melesat kencang. Semua hantu begitu cepat berlari, tapi satu hantu yang tertinggal di belakang, yaitu pocong yang masih terus mengesot sembari membawa pulpen dan kertas yang ia gigit.
“Pocong yang dikejar itu siapa sih? Maling?” tanyaku super penasaran.
“Dia itu pocong dengan 3 g, jadi poconggg. Sudah tahu, kan? Pocong yang paling eksis di twitter dan yang mengejar itu adalah para followers-nya,” jawabnya.
“Termasuk pocong yang ngesot itu?”
“Tentu saja. Tapi, sebenarnya dia juga sudah terkenal karena pernah dikontrak dalam produksi film dengan judul ‘Pocong Ngesot’, tapi beberapa hantu di sini malah banyak yang membenci dia karena dianggap plagiat sama si Suster Ngesot,” jelasnya penuh intrik.
Setelah mendengar penjelasan tentang keberadaan hantu yang sudah terkenal. Kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai. Aku pun masuk ke dalam kuburanku dengan membuka pintu terlebih dahulu, disertai dengan ucapan terima kasih dan tarian hula-hula. Makhluk pencabut nyawa itu pergi tanpa sepatah kata, lambaian tangan dan ucapan “dadah!” dengan gaya chibi pun tak dikeluarkan. Sinisme!
Wuahhh! Suasana gelap pekat tergambar di kuburan itu. Apakah aku akan tidur di sini? Oh, tidak! Semua sunyi, diam, sepi, lengang, hanya aku yang berkicau tanpa ada balasan penghuni lain. “Lampu. Mana lampu? Tolong, jangan matikan lampunya!” teriakku ketakutan. Tubuhku menggigil, meriang, meradang. Aku takut! Bahkan, jika aku ingin tidur pun aku tak tahu malam telah datang atau belum karena semua sama, hitam gelap.
“Woiii! Bisa diam, tidak? Aku mau tidur!” teriak salah satu penghuni yang terasa tepat di sebelah kanan kuburanku.
Aku pun diam tanpa kata dan lanjut bernyanyi beberapa nada dengan gaya Metallica, band sejatiku.
Diam..tanpa kata, kau seolah jenuh padaku..
“Shit! Diaammmmm…!!! Kamu mati karena apa sih? Tidak bisa diam begitu,” teriaknya menggerutu.
“Aku tersekap dan kehabisan napas di bawah tempat tidurku, kalau kamu?” sahutku balik.
“Pantas! Aku mati dibakar istri karena mendengkur begitu keras saat tidur.”
“Hahahaha.” Aku tertawa mengolok-ngolok.
“Kenapa ketawa, ada yang lucu?” tanyanya.
“Tidaakk!! Terus, bagaimana dengan istrimu? Apakah dia juga sudah mati?”
“Dia belum mati. Sekarang, dia malah bersenang-senang dengan pria lain. Padahal aku mati baru beberapa minggu yang lalu. Dasar istri yang tidak ber-peri-ke-hantuan,” omelnya, “Ya udah, aku mau tidur. Tolong! Jangan ribut lagi karena aku sudah capek, mau tidur,” harapnya terakhir.
Aku pun memenuhi harapannya untuk diam agar bisa membuatnya tertidur. Beberapa detik kemudian, bunyi getaran terasa hingga ke kuburanku. Ini seperti gempa yang berkekuatan 9.7 skala richter. Tanah merah yang membentengi kuburanku terus bergetar. Apa ini? Kutelusuri segera asal getaran itu. Dan…. Ternyata itu adalah dengkuran dari hantu sebelah yang sebelumnya terus menggerutu padaku. “Pantas dibakar, kalau aku istrinya, bukan cuma dibakar tapi akan kumutilasi, kugoreng dan setelah itu kumakan sekenyang-kenyangnya,” gumamku kejam.
Hampir beberapa menit berlalu, dengkurannya masih menggetar membahana pakai badai. “Oh, Tuhan! Sekaplah mulutnya,” harapku dalam hati. Tapi, mendengar curhatan dari hantu pendengkur terhebat di dunia itu, mengenai istrinya yang begitu cepat melupakan dirinya dan sudah bersenang-senang dengan pria lain membuat aku jadi khawatir dan begitu was-was. Apakah istriku juga begitu? Apakah dia juga cepat melupakanku? Pikiran-pikiran buruk mengeliling di benakku.
To Be Continue.
Related Story for Cerita Bersambung
,Horor
,Komedi
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)