Rabu, 02 April 2014
Binar-Binar Rembulan
Oleh: Justang Zealotous
“Sayang,
maaf!”
“Maaf
kenapa?” Mata Heni, kekasihku, melotot tajam. Tampaknya dia heran dengan
tingkahku yang mendadak aneh.
“Kita.”
“Kita
kenapa?” Ia semakin kebingungan.
“Putus!”
Akhirnya
kata itu berhasil menyembur dari mulutku, meski rasanya harus menelan jutaan
pedih yang bersarang di otakku. Hal ini sangat berat, tapi mesti kukatakan.
“PUTUS?
Dengan mudahnya kau mengatakan itu tanpa alasan yang jelas. Seperti mudahnya
kau menggenggam tanganku dan berkata ‘I Love You’. Shit!” umpatnya.
Mataku
beralih menatap ke bawah. Aku tak mampu menatap wajahnya yang tampak kecewa
dengan tindakanku. Terutama matanya yang mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba dia
memelukku. Mendekapku erat. Tangisnya pecah.
“Aku
tak bisa bersamamu lagi.” Aku berusaha melepaskan dekapannya karena itu malah
semakin membuatku tak sanggup harus melukai hatinya lebih dalam.
“Ren,
aku tak sanggup berpisah denganmu. Kau adalah jiwaku, yang telah hadir
menyelamatkan segala kehidupanku. Saat aku merasa semua meninggalkanku, kau
datang dan membasuh lukaku.” Air matanya mengalir deras, sesenggukan di
pundakku.
“Tolong!
Hentikan! Kau tak mengerti.”
“Bagaimana
aku bisa mengerti, jika kau hanya diam saja?”
Semenit
kemudian, saat dia masih merentangkan lengannya dan mendekapku erat. Lolongan
serigala terdengar merayu, memanggil, dan memekakkan telinga. Puncak gerhana rembulan
telah tiba. Napasku semakin sesak, tubuhku bergoyang hebat. Dia kaget luar
biasa dan melangkah ke belakang perlahan.
Aku
merasakan anggota tubuhku kaku, sakit, panas. Sekejap, dari kaki tumbuh
bulu-bulu kasar yang semakin lebat menuju kepala. Kuku-kuku mulai tampak
panjang dan tajam. Wujudku akhirnya berubah menjadi manusia serigala.
Kutatap
wajahnya nanar. Dia sangat ketakutan dan tak percaya dengan apa yang baru saja
dilihatnya. Tapi, sepertinya belum ada yang melintas di otaknya untuk segera
berlari pergi.
“Renn...di?”
ucapnya gemetaran.
“Hen,
ini aku, Rendi. Alasan inilah aku tak mau bersamamu lagi karena aku adalah
manusia serigala. Saat gerhana datang, aku akan semakin haus darah,” jelasku.
Dia
terdiam beberapa menit. Dan, akhirnya bicara. “Baiklah, saat kauputuskan aku,
itu sama halnya dengan membunuhku. Kalau begitu bunuhlah aku sekarang.” Dia
menjulurkan tangannya ke arahku.
“Jangan
sinting! Kau tak tahu siapa aku,” ucapku getir.
“Tak
tahu? Kau adalah kekasih yang selama ini kuimpikan. Aku tak peduli dengan
wujudmu seperti apa. Aku akan tetap mencintaimu sebagaimana bintang kan selalu
temani rembulan di angkasa.”
Aku
berpaling, dia menarik tanganku.
“Heni,
lihatlah rembulan itu!” tanganku menunjuk ke langit. “Aku akan selalu jadi rembulan
untukmu. Menemanimu dalam gelap.”
Dia
pun menatap rembulan dengan cermat. Sementara itu, aku mencakar dadaku sendiri,
menusuk hingga ke jantung. Untuk mencegah ia tak mendengar jerit kesakitanku,
aku berusaha tahan. Perlahan, tubuhku melemah, aku ambruk. Aku pikir, ini jalan
terbaik dari harus melihatnya mati dengan tanganku.
Related Story for Fiksi
,Flash Fiction
,Romance
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)