Rabu, 03 Februari 2016

Cerpen: Kematian Seorang Dermawan karya Justang Zealotous

kematian seorang dermawan
[Dimuat di Metro Riau, Minggu, 24 Januari 2016]

Puncak segatan matahari terjadi lagi, padahal ini sudah masuk musim penghujan. Pasir kembali mendidih. Angin berembus seperti kobaran api yang menyala. Ini memang aneh. Tapi, tidak ada yang lebih mengejutkan selain kabar kematian Pak Burhan, pria berumur yang begitu dermawan, di siang bolong begini. Banyak yang bilang, Pak Burhan mati kelaparan.
Semua orang berbondong-bondong menaruh tanya. Mengapa Pak Burhan bisa menjemput maut karena kelaparan? Sosoknya yang pemurah dan selalu membantu banyak orang seolah mustahil kematian seperti itu yang menimpanya. Jika Pak Burhan mati stroke atau serangan jantung, mungkin semua orang akan terima karena umurnya yang memang sudah tua. Pertanyaannya lagi, kenapa dia sampai mati kelaparan? Tidak adakah orang yang memberinya makan?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepala banyak orang. Tidak ada yang menyangka akan seperti ini akhir hidup Pak Burhan. Saya sendiri sontak kaget mendengar kabar angin itu. Namun, bagaimanapun jenazah Pak Burhan telah diangkut dengan ambulans menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.
Iring-iringan pengantar jenazah sangat banyak diikuti suara sirene ambulans yang meraung-raung. Semua seperti menyimpan kehilangan yang mendalam. Betapapun, Pak Burhan telah mencetak banyak amal kebaikan. Kemurahan hatinya dan kesederhanaannya. Satu yang masih saya sesalkan, kenapa Pak Burhan yang kami kenal baik harus mati kelaparan?
Saya dan Pak Burhan memang tidak terlalu dekat. Saya mengenalnya hanya sebatas rekan kerja sebelum akhirnya dia mengundurkan diri. Kami sama-sama kerja sebagai buruh di pabrik beras. Meskipun Pak Burhan cukup berumur ketimbang kami yang bekerja dengannya tapi dia memiliki semangat kerja yang lebih besar daripada kami.
Saya tidak pernah melihatnya mengeluh sama sekali walaupun mesti lembur hampir tiap hari. Suatu hari saya melihatnya telah bermandikan keringat, sambil batuk-batuk dia masih menyelesaikan pekerjaannya. Menumbuk padi dan menggilingnya.
“Pak, kenapa tidak istirahat saja?” Saya mengingatkan. “Nanti saya gantikan pekerjaannya.”
“Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga selesai,” katanya masih penuh semangat.
Saya mendekat padanya, bermaksud membantu pekerjaannya. “Pak Burhan ini hebat.”
Pak Burhan tersenyum mendengar pujian saya.
“Bapak ini kan lebih tua daripada kami semua. Tapi, semangat Bapak masih seperti anak muda. Sama sekali tidak pernah capek.”
Dia terkekeh. “Saya juga pernah capek. Tapi bukan berarti itu adalah alasan saya untuk mengeluh. Saya masih bisa kerja. Saya masih bisa kasih makan diri sendiri. Sementara banyak orang tunggang langgang cari kerja untuk makan. Makanya, ya, disyukuri saja.”
Begitupun, setelah setahun lebih bekerja di pabrik, Pak Burhan memutuskan untuk mengundurukan diri. Alasan tepatnya tidak begitu saya ketahui, tapi kata beberapa rekan kerja, Pak Burhan sudah merasa beda visi dengan di pabrik. Banyak kejanggalan yang tidak diingini, misalnya gaji yang tidak seimbang dengan pekerjaan atau ego tinggi yang dimiliki pihak pengelola yang selalu membedakannya dengan buruh lain hanya karena masalah umur. Dia dianggap tidak becus lagi. Namun, setelah pengunduran dirinya, Pak Burhan kadang jadi kuli panggul, kuli bangunan, atau apa saja yang bisa dikerjakannya.
Saya kian kagum pada sosok yang lumayan ringkih itu. Selain sifat kesederhanaannya dan dengan semangat yang tinggi, Pak Burhan banyak membantu orang padahal dia sendiri sedang kesusahan. Dia bukan orang yang berkecukupan tapi terlihat selalu cukup jika bersedekah.
Hal yang saya heran dari Pak Burhan, meskipun suka membantu sesama tapi dia paling tidak suka dibantu orang. Dia selalu beralasan bahwa dia masih kuat untuk mendapat bantuan. Pernah sesekali saya melihat Pak Burhan jalan kaki sendirian. Tampaknya perjalanan kaki Pak Burhan sudah lumayan jauh atau matahari yang semakin terik saja hingga Pak Burhan terlihat begitu letih, baju kaosnya bahkan basah karena keringat. Beberapa kali dia mengusap dahinya dengan lengan.
Saya yang kala itu mengendarai motor menuju pasar berhenti tepat di sampingnya. Saya mencoba untuk memberikan tumpangan padanya.
“Pak, mau ke mana?” tanya saya pelan.
“Mau ke terminal,” jawabnya.
“Oh, ikut saya saja. Toh, saya mau ke pasar dan jalurnya searah.”
“Tidak! Terima kasih. Adek jalan saja.” Pak Burhan menolak sambil tersenyum sedikit. Dari wajahnya, saya bisa melihat guratan keletihan di dalamnya.
“Ikut sajalah, Pak! Kelihatannya Bapak capek sekali apalagi masih jauh perjalanannya.”
Pak Burhan tetap menolak. Dalihnya dia ingin olahraga. Daripada maksa terus dan akhirnya terdengar menyinggung. Saya pun memutuskan pergi sendiri. “Kalau begitu saya duluan, Pak!”
“Hati-hati.” Dia masih sempat teriak saat itu. Dalam teriakannya, tetap terdengar rasa semangat di sana. Pak Burhan memang hebat.
Hal-hal yang saya paling kenal dari Pak Burhan terasa mengaburkan kabar penyebab kematiannya. Mati kelaparan. Saya benar-benar tidak percaya. Pasti ada orang-orang yang sengaja menyebar gosip tentang itu.
Setelah jenazah Pak Burhan dimasukkan ke dalam liang lahat dan dibacakan doa oleh Pak Imam, para rombongan meninggalkan makam. Di antara rombongan itu, tidak seorang pun yang saya lihat merupakan keluarga dekat Pak Burhan. Kebanyakan dari yang datang hanyalah mantan rekan kerja Pak Burhan, tetangganya, dan orang-orang yang mengenalnya atau mungkin yang pernah dibantunya.
Selama saya mengenal Pak Burhan, saya memang tidak pernah mendengar kabar soal keluarganya. Hingga umur genap lima puluh dua, Pak Burhan tetap menjadi bujang lapuk. Saya tidak tahu menahu mengapa Pak Burhan tidak mencari istri. Ada yang bilang, Pak Burhan tetap setia sendiri karena tidak mau menyusahkan seorang wanita yang akan menjadi istrinya nanti. Hidup sudah susah, tidak perlu dibikin tambah susah.
Pak Burhan juga tidak memiliki kerabat dekat. Dia telah lama hidup sendiri sebagai manusia perantauan. Pak Burhan seperti hidup sebatang kara.
Sepulang dari mengantar jenazah Pak Burhan, sudah banyak obrolan soal mengapa Pak Burhan sampai mati kelaparan. Semua seakan menyesal telah melupakan sosok yang selama ini banyak membantu. Seperti sebuah ketidakadilan, banyak yang merutuki kelalaian masyarakat sekitarnya sampai membiarkan Pak Burhan harus hidup di tengah perut yang kosong.
Pak Lurah dengan inisiatif beberapa warga pun mengadakan pertemuan mendadak di balai desa untuk membahas penyebab kematian Pak Burhan, yang terasa sangat disesalkan. Pak Lurah membuka pertemuan dengan sedikit pidato.
“Innalillahiwainnailaihirajiun! Telah berpulang, keluarga kita, saudara kita, sahabat kita, Pak Burhan Saleh. Dia sosok yang kita kenal begitu baik dan dermawan. Banyak di antara kita yang telah mendapat bantuan darinya. Termasuk saya pribadi. Saya dan tentunya kalian semua merasa kehilangan akan sosoknya. Namun, keresahan saya timbul ketika mendengar kalau Pak Burhan meninggal karena kelaparan. Mengapa hal itu bisa sampai terjadi? Ini pasti sebuah kelalaian. Saya mengadakan pertemuan ini agar tidak ada lagi korban kelaparan selanjutnya.”
Semua orang yang hadir menundukkan kepala. Ada guratan sedih di wajah mereka. Beberapa orang yang mengenal begitu dekat sosok Pak Burhan bahkan meneteskan air mata. Suasana pun menjadi senyap dan haru.
Di tengah kegamangan, Pak Amin, tetangga Pak Burhan, angkat bicara. “Semenjak Pak Burhan tidak lagi kerja di pabrik, dia memang selalu kelayapan tidak jelas. Apalagi umurnya yang sudah tidak muda lagi, Pak Burhan sempat beberapa kali sakit. Dulu, saya pernah melihat dia keluar rumah. Ketika ditanya mau ke mana, katanya ingin membeli obat. Saya tahu betul kalau Pak Burhan itu orang baik dan beberapa kali juga membantu saya. Tiap kali diberi uang, dia selalu tolak dan menganggap itu keikhlasan. Saat itu, saya bermaksud ingin menolongnya untuk membelikan obat yang diingini, sekaligus balas budi. Namun sekali lagi, Pak Burhan menolak bantuan saya. Makanya, karena sering sekali ditolak, saya pun jadi sungkan untuk membantunya bahkan terkesan mengabaikan padahal saya paham dia juga mengharap bantuan. Jika saya kurang perhatian padanya, saya minta maaf. Kematiannya juga bukan mau saya.” Pak Amin mengakhiri ucapannya dengan tatapan menyesal.
“Saya juga.” Sebuah suara terdengar lagi. Seseorang pun maju di hadapan para warga yang hadir. Dia adalah Pak Jahid. Seorang bapak berkumis tebal itu bukan mantan rekan kerja, tetangga, apalagi keluarga Pak Burhan. Mungkin dia orang yang juga pernah dibantu olehnya.
Pak Burhan memang membantu semua orang tanpa melihat status dan kedekatan. Pak Burhan pernah bilang, jika kita membantu, bukan dilihat dari siapa yang kita bantu tapi apa yang bisa kita bantu.
“Kamu juga apa?” Pak Lurah bertanya.
“Saya juga pernah ditolong Pak Burhan. Bahkan saya merasa telah berutang budi padanya. Namun saya minta maaf.” Pak Jahid tiba-tiba mengubah ekspersi wajahnya dengan begitu menyesal.
Semua orang lantas menatap Pak Jahid dengan bingung.
“Sehari sebelum Pak Burhan meninggal. Saya sempat melihat dia berjalan sambil membawa bakul besar. Saya ingin mendekatinya untuk memberi bantuan tapi urung karena saya pikir dia akan kembali menolak. Soalnya saya sempat malu besar ketika berusaha menolongnya di hari lain dan ditolak mentah-mentah di depan banyak orang. Dia bilang saat itu kalau dia bukan lagi orang tua dan masih kuat untuk bekerja sendiri. Dia lalu pergi meninggalkan saya.” Pak Jahid mulai meneteskan air mata. “Padahal maksud saya baik. Kemudian saat dia tampak capek menenteng bakul dari sana ke mari, dia pun terjatuh. Saya tetap tidak menolongnya. Saya menyesal sekali. Apalagi saya langsung pergi saat itu.”
Mendengar berbagai cerita penyesalan yang dialami mereka bersama Pak Burhan, saya jadi teringat namun tidak ingin menyampaikan di depan khalayak. Saya seperti malu pada diri sendiri hanya karena Pak Burhan juga sering menolak bantuan saya.
Kala itu. Saya melihat Pak Burhan terjatuh. Saya melihat bakul berisi nasi sisa itu berserakan di tanah. Saya melihat dia berjuang seorang diri untuk memunguti nasi sisa itu sedikit demi sedikit. Namun saya tidak membantunya dan malah pergi meninggalkannya. Pak Burhan, kami menyesal, saya sangat menyesal.

Watampone, 10-01-15 22:20


JUSTANG ZEALOTOUS. Menulis cerpen, puisi, dan artikel. Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP Muhammadiyah Bone. Anggota dari Forum Lingkar Pena Cabang Bone. Beberapa karyanya sudah pernah diterbitkan.


Related Story for Cerpen ,Fiksi ,Media

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah menyempatkan diri untuk membaca artikel di atas. Sekarang waktunya untuk memberikan komentar, saran, kritik atau masukan demi karya yang lebih baik lagi. Buat kalian yang tidak memiliki akun google, bisa diganti dengan NAME/URL