Senin, 10 Maret 2014
Raih
Cahaya karena Cinta
Aku pernah mencari kata “jomlo” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Rupanya kata tersebut berarti “gadis tua”. Buat pria berbesar hati?
Oh, tidak! mungkin maksudnya sama. Sama-sama tua dalam kesendirian, kehampaan,
kekosongan, dan kesepian akan belaian kasih seorang pujaan hati.
Jombloan itu memang sesak banget. Ketika muda mudi
sedang asyik menikmati malam Minggu bersama kekasih mereka. Kami terpaksa
mencari alasan nonton bola agar tak merasa jomblo sejati. Kami juga terpaksa
pasrah melihat status-status bertebaran di Facebook tentang hubungan yang
sedang berbunga-bunga. Sementara itu, kami hanya bisa menulis status tentang
kesendirian atau rasa galau tak berkesudahan.
Dahulu kala, pernah kutembak seorang cewek. Hasilnya
ditolak. Tembak lagi dan tetap sama, tolak. Apakah wajah tampan nan keren tak
cukup bagi seorang cewek untuk memantapkan hatinya bersama kita? Meskipun tebal
tipisnya dompet juga menjadi pertimbangan khusus. Tapi, wanita yang satu itu
beda adanya. Dia butuh seseorang yang kelak bisa menjadi imam. Jadi, orang yang
rajin salat menjadi dambaan.
Salat? Aku sadar, aku bukan pria yang terlalu dekat pada
sang khalik. Aku seakan buta dunia. Hingga wanita yang dipuja itu pun harus
menjadi sasaran yang mengharuskan aku salat. Memang harus seperti itu. Jika
kita ingin mendapatkan hati seseorang, lihat dulu diri kita. Sudah pantas atau
belum bersamanya? Maka dari itu, aku mulai memantaskan diri.
Aku mencoba salat setiap hari. Tak sedetik pun
terlewat untuk tak melaksanakan salat. Wanita itu memotivasi aku untuk
mengerjakannya. Aku tahu bahwa dengan cara seperti ini yang akan membuat dia
tertarik padaku.
Di akhir setiap salatku, aku selalu berdoa padaNya.
Memohon agar jomblo itu tak terlekat abadi di hidupku. Aku ingin wanita yang
cantik dengan rajutan kain menjadi jilbabnya itu berpaut pada cinta ini.
Sepanjang waktu, ketika dia melihat aku sedang
mengerjakan salat, rasa tak percaya atau penuh keheranan terpampang jelas di
wajah eloknya. Mungkin karena perubahan yang mendadak dan tak biasa dariku.
Wajar, biasanya ketika bunyi azan berkumandang, aku masih sibuk dengan dunia
sendiri.
Saat diperhatikan, bibirnya seakan ingin mengeluarkan
kalimat menyindir: “Tumben, biasanya tak
begitu.” Meskipun aku yakin kalimat itu tak akan keluar bahkan hingga ajal
menjelang. Dia adalah wanita baik hati yang teramat cantik.
Hingga pada akhirnya ketika merasa pantas untuk
bersamanya dengan memenuhi syarat yang tersirat dari caranya bersikap. Aku
kembali mendekatinya perlahan namun pasti.
Sekali lagi kuungkapkan yang dahulu telah menjadi
bumerang bagi hidupku. Kuungkapkan semua kekata untuk menjemput hatinya. Kekata
tentang rasa cintaku padanya.
Awalnya dia terdiam sejenak. Dia seakan berpikir
tentang kepantasan diriku untuk bersamanya. Namun rupanya, hal yang tak sesuai
rencana terjadi. Dia telah punya kekasih. Hatiku remuk seketika. Seperti kaca
yang pecah dan berserakan di mana-mana. Lalu, beling itu tak akan mudah untuk
bersatu lagi menjadi utuh. Hingga aku harus mengidap jomblo sekian kalinya.
Namun di balik semua itu, aku menemukan hal yang lebih
membuatku nyaman, dekat denganNya. Aku seakan menemukan cahaya yang selama ini
remang dalam hidupku. Mungkin aku memang tak bisa bersamanya tapi kenikmatan
salat yang kuterima lebih dari sekadar yang kuinginkan.
Related Story for Cerpen
,Religi
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)