Sabtu, 08 Maret 2014
EKSPEDISI
ARWAH
Oleh: Justang Zealotous
Napasku
terengah, aku berlari dan terus berlari di tengah hutan yang begitu lebat. Aku
berusaha teriak untuk memohon pertolongan, tapi setiap tarikan napasku yang
semakin meninggi seakan menyesak tenggorokan untuk bersuara. Tak ada suara
keluar hanya embusan napas yang pendek-pendek.
Detakan
jantungku kian berdebar. Aku semakin ketakutan ketika batang-batang pohon di
depanku kian lebat. Aku hanya berdoa bisa menemukan jalan pulang dan keluar
dari hutan ini. Aku tahu, ini kesalahanku. Aku terlalu ceroboh hingga asap itu
semakin keluar berkepul-kepul. Menimbulkan titik api yang kian membesar. Tapi, yakin
ini bukan kesalahanku sepenuhnya. Setidaknya kini, aku bisa mendapatkan
pertolongan itu.
Aku
lelah tapi perasaanku masih ketakutan. Titik fokusku adalah jalan keluar dari
hutan. Aku harus bisa menemukannya. Langkah kakiku semakin dipercepat. Tak ada
waktu untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku tak peduli pada lebatnya hutan ini.
Sesekali
membuatku harus melompat menghindari tumbuhan berduri di tanah. Menunduk
menghindari dahan besar yang mencuat ke samping. Inilah perjuangan terbesarku
meski tak yakin beberapa menit kemudian aku masih hidup atau tidak lagi, yang
jelas aku telah berusaha.
Akhirnya,
jalan beraspal itu kutemukan. Ada perasaan lega menghampiri. Tanpa pikir
panjang aku berlari ke jalan beraspal itu. Tanpa sadar, sebuah mobil tak
terkendali yang melaju kencang datang ke arahku. Dan.
***
Malam
itu malam yang paling mencekam daripada biasanya. Malam Jumat yang memang identik dengan sifat mistisnya membuat
perasaan kian diisi dengan ketakutan. Tapi, itu tak membuatku, Reno, Delon, dan
Angga, tiga sahabat yang kumiliki
untuk melakukan ekspedisi di malam gelap.
Setiap
malam Jumat, kami memang suka
mendatangi tempat-tempat sepi di kota Watampone, kota sedang di Sulawesi
Selatan. Kebiasaan ini muncul setelah kejemuan melanda kami hidup di hirup
pikuk kota yang datar saja. Kami ingin berbeda, sesuatu hal yang menantang jiwa
kelelakian kami.
Pada
setiap ekspedisi, kami selalu saja menemukan hal aneh tapi itu memang lebih
mengasyikkan daripada harus menatap rembulan bersama kekasih, menurutku. Itu
lebih menantang dan membuat kami tampak lebih berani.
Setelah
berembuk, lokasi pilihan kami adalah sebuah rumah yang hampir dua tahun
dibiarkan kosong dan berlantai dua yang tak jauh dari rumah Delon. Lokasi rumah
di tepi persawahan, menambah kesepian rumah itu. Rumah yang bercorak tua dengan
relief kuno dan cat putih menutupi beton-beton, serta pohon besar yang
menggugurkan dedaunan kering di pekarangan rumah. Entah berapa makhluk halus
yang menghuni rumah itu. Yang jelas tampak begitu angker.
Kami
berdiri di depan rumah itu, menatapnya dengan gagah. Sebuah senter yang kami
pegangi menyorot seluruh sisi depan rumah. Membuat kegelapan agak berkurang,
meski sisi angker masih begitu terasa. Memperhatikan jelas lekukan-lekukan
rumah batu yang mulai rapuh bagai kayu dimakan rayap. Coraknya memang masih
terlihat utuh, cat putih yang mulai terlihat hitam kusam. Sesekali hawa dingin yang berembus membuat tubuhku
bergidik.
“Serius,
kita akan melakukan ekspedisi di rumah ini?” ucapku agak sedikit ragu.
“Ah,
kamu itu penakut banget sih,” tukas
Delon tampak berani.
“Kamu
takut hantu, ya?” tambah Angga.
“Bagaimana
sih, kita kan sudah biasa menginap di
tempat yang sepi. Kok sekarang malah keberanianmu menciut gitu, San.” Delon
menatapku tajam, sebuah senyuman tersungging dari bibirnya bermakna aku harus
berani. Dia memang sahabatku paling
pemberani. Bahkan ide awal untuk melakukan aksi ini adalah darinya.
Sebenarnya
memang sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Tapi, entah kenapa hawa dingin
yang menusuk dari rumah telah membuatku semakin merinding. Seakan ada sentuhan
halus pada pundakku di setiap pergerakan. Akhirnya aku terdiam pasrah meski
rasanya ingin pergi dari rumah itu. Tapi, kalau sampai kuturuti rasa takutku,
mereka tak akan menganggap aku sahabat
lagi. Jalan terbaik adalah diam dan mengikuti semua langkah yang ada.
Delon
berjalan paling depan memimpin aksi kami. Mengendap-endap dan berjalan pelan.
Kami berusaha tenang, tapi setiap patahan dahang dari daun yang kami injak kian
meriuhkan suasana. Hingga membuat kami terpaksa harus berjalan lebih cepat.
Saat
tiba di depan pintu, aku mendapat tugas untuk membukanya. Sedikit tarikan
napas, aku menjulurkan tanganku dari gagang besi. Kusentuh dan dinginnya besi seakan
menjalar ke tulang-tulang tapi aku tahan dan memutarnya perlahan. Terbuka,
suara decitan terdengar menggema. Pintu itu memang tak pernah dikunci tapi juga
tak pernah terbuka lebar. Selalu tertutup, entah kenapa.
Langkah
kaki kami perlahan menapaki lantai berlapis marmer putih. Suasana di dalam rumah memang telah tergambar sedari tadi di
pikiranku, hitam gelap pekat.
Wajarlah tak ada lampu, kalau pun ada lampu. Listrik telah lama mati.
***
“Ini
akan menjadi tempat penginapan terbaik yang pernah kita rasakan. Meski gelap
tapi rumah ini tetap terlihat bagus kok,”
tegas Reno. Dia tampak lebih berani dari biasanya, padahal dari kami berempat,
dia terkenal sebagai makhluk penakut tapi entah apa yang merasuki jiwanya kini.
Dia bahkan lebih berani daripada aku.
“Tumben
banget kamu seberani itu, No.” Aku menatapnya agak keheranan.
“Ahh,
rumah ini telah disediakan untuk kita. Jadi, kenapa harus takut,” sanggahnya.
Aku
masih tidak mengerti dengan pikiran 3 sahabatku
ini. Rumah itu seakan menjadi tempat bernaung yang telah lama bagi mereka atau
mungkin karena mereka sudah biasa dengan rumah ini. Apalagi di antara kami,
sepertinya hanya aku yang baru berkunjung. Aku tak pernah berpikir akan sampai
ke sini, melihatnya saja aku sudah bergetar. Rumah ini kan tak jauh dari rumah
Delon.
Ekspedisi
itu dilakukan bukan hanya sekadar melakukan penginapan tapi kami juga ditempatkan
di posisi berbeda. Kali ini aku ditugaskan di ruang tengah lantai dasar,
tepatnya di ruang keluarga. Reno di bagian dapur lantai dasar juga. Angga dan
Delon bersama di lantai dua. Itu dilakukan agar lebih memudahkan kita melakukan
ekspedisi ini meski sebenarnya malah membuatku lebih ketakutan. Tapi, ya sudah.
Aku terima.
***
Malam
semakin larut, kuarahkan sorotan senterku ke jam tangan dan telah menunjukkan
pukul sepuluh kurang tujuh menit. Pikiranku masih tak tenang tentang sosok
makhluk halus yang menghuni rumah ini. Bagaimana pun juga hal-hal yang bersifat
gaib itu pasti ada. Aku yakin.
Sejenak
aku berpikir yang aneh-aneh, tiba-tiba terdengar bunyi jatuhan panci
gedebar-gedebur di dapur. Hal itu sempat membuyarkan seluruh pikiran anehku dan
mencari tahu maksud dari suara itu. Aku yakin itu berasal dari Reno. Tapi,
entah apa yang telah ia lakukan.
“Reno,
apakah kau baik-baik saja,” teriakku masih di ruangan keluarga. Tak ada
jawaban, aku semakin cemas. Aku perlahan memberanikan diri untuk memeriksa
keadaan di dapur. Rupanya tak seorang pun di sana hanya beberapa peralatan
dapur yang tergeletak di bawah lantai. Lantas ke mana Reno pergi? Siapa pula
yang menjatuhkan panci-panci itu? Pikiranku semakin diputar oleh pertanyaan.
“Reno!”
Aku meninggikan suara berharap ia menyahut panggilanku. Masih tak ada jawaban
darinya.
Jantungku
berdegup kencang. Entah kenapa ini memacu ketakutanku. Aku balik ke ruang
tengah berharap ia ada di sana. Nihil. Ia masih tak menampakkan wajahnya.
Apakah dia keluar? Atau dia naik ke lantai dua? Aku bingung.
Kusorot
semua di sekeliling, berharap wajah sembap di pipi Reno tersorot oleh senterku.
Syytt! Bayangan hitam melesat di
lorong gelap menuju ke dapur. Aku berusaha berpikir jernih, itu adalah bayangan
Reno. Aku mengatur napas. Berusaha tenang dan menanggalkan pikiran aneh.
Gerakan
selanjutnya, ketika aku berbalik menuju ke sebuah sofa, sesuatu seakan
menyentuh pundakku, terusap perlahan hingga bulu kudukku perlahan berdiri. Aku
membalikkan badan dan menyorot ke segala arah. Tak seorang pun.
Kurasakan
tubuhku mulai bergetar. Napasku mendesah tak lagi beraturan. Kembali kusorot
jam tanganku dan telah menunjukkan pukul sebelas lewat. Puncak malam segera
datang. Aku berjalan kembali ke dapur karena yakin Reno telah berada di sana.
Bayangan sebelumnya yang meyakinkanku.
“Reno,
apakah kau sudah kembali? Aku takut,” pekikku lagi. Langkah kakiku perlahan
semakin cepat. Aku ingin segera melihat Reno di dapur.
Saat
tiba, kuarahkan kembali sorotan senterku ke segala arah di dapur. Aku mendesah,
rupanya Reno telah kembali—entah dari mana, aku tak tahu—yang penting, itu
membuatku kembali lega. Dia sedang berdiri membelakang menghadap kulkas yang
terbuka.
“Oh,
rupanya kamu lapar toh. Sebenarnya,
kamu dari mana saja sih, dari tadi aku bingung nyariin kamu,” ucapku.
Dia
tetap terdiam. Sepertinya terlalu sibuk menjarah sesuatu di dalam kulkas hingga
tak menyadari kehadiranku. Aku pun mencoba untuk mengerjainya. Aku berjalan
perlahan mendekat dan memukul pundaknya agar dia terkejut.
“Byarrr!”
kagetku. Akhirnya dia berbalik tapi kini agar berbeda. Terlihat jelas saat
senterku menyorot wajahnya yang berlumuran darah,
matanya memerah membelalak, mulutnya sedang mengoyak hewan mentah, terbukti
masih ada ekornya yang memanjang keluar dari bibirnya.
Aku
sadar, dia bukan Reno meski wajahnya sangat mirip dengan Reno. Apakah ini
sejenis hantu yang menyerupai Reno? Entahlah, tapi tak ada waktu untuk
memikirkan itu. Aku melangkah perlahan ke belakang dan memutuskan untuk lari
sambil berteriak minta tolong.
Sambil
membawa senter yang masih kupegang, aku berlari dan terus berlari tanpa mencoba
untuk memalingkan wajah ke belakang. Aku tak ingin melihat sosok Reno yang
mengerikan itu lagi. Aku pun menuju ke tangga di ruang tengah. Berpikir untuk
memberitahukan kepada Angga dan Delon tentang ini, agar aku tak sendiri
menghadapi ketakutanku.
Satu
per satu tumpuan tanga berhasil kulalui tanpa tersendak dan tanpa keberanian
untuk menatap ke belakang. Aku tak peduli, sosok itu masih mengejar atau tidak.
Aku harus menemui Angga dan Delon di lantai dua.
“Angga,
Delon. Tolong aku!” Aku berteriak begitu ramai.
Kuseret
ruangan pertama di lantai dua, tampak Angga sedang berbaring di sofa. Apakah
dia mengantuk hingga tertidur pulas begitu? Aku berlari mendekat dan mencoba untuk
membangunkannya. Kutarik-kutarik pergelangan tangannya dan matanya terbuka
perlahan. Dia bangun.
“Angga,
tolong aku! Ada sosok Reno yang mengerikan di lantai dua. Aku sangat takut,”
keluhku. Tiba-tiba, aku tersadar ketika menatap wajah Angga yang juga tampak
berbeda. Meski ada rasa khawatir, aku menyorot wajahnya sambil menjauh ke
belakang perlahan. Mendadak terlintas di benakku kalau dia juga bukan Angga
yang sesungguhnya.
Rupanya
betul. Angga kali ini lebih mengerikan. Lebih pucat dengan mata kiri yang
mencuat ke luar. Dia mengangga dengan dua taring menjulur ke depan. Aku semakin
bergetar ketakutan. Apa yang terjadi dengan sahabatku? Aku kembali memacu
lariku sambil masih berteriak tolong.
Sejenak
aku berpikir untuk mencari Delon tapi apakah Delon yang kutemukan akan sama
mengerikan seperti Reno dan Angga. Jika benar begitu, sepertinya aku telah terperangkap sendirian di rumah ini.
Bersama makhluk halus yang siap mengintai nyawaku.
“Delon,
di mana kamu berada? Aku tak tahu harus berbuat apa lagi.” Aku berteriak-teriak
berharap Delon datang dan menemaniku menghadapi ketakutan ini.
“Sandi!”
Tiba-tiba terdengar suara memanggilku. Jelas sekali. Suara yang lebih dingin
dan lembut. Anehnya, ini suara wanita. Aku menatap sekeliling dengan masih
bantuan dari senterku.
“Sandi,
itu hanya suara halusinasi. Tak
seorang pun wanita memanggilmu.” Suara Delon mendadak terdengar dari belakang.
Aku membalikkan badan dan dia ada di sana. Berdiri sambil menyorotkan senter ke
wajahku. “Kamu itu kejam, kamu telah
membunuh kami.”
“Maksud
kamu? Aku tak membunuh siapapun,”
tukasku.
“Bullshit, kami terpanggang di rumah dan
kamu berlari meninggalkan kami. Aku yakin, kebakaran itu pun juga datang dari
kamu. Kamu yang membakar kami, kan?” ucap sinis Delon, senyuman angkuhnya tersungging
jelas. Wajahnya sama seperti yang lain, pucat dan penuh darah.
Sedetik
kemudian, Angga dan Reno juga datang. Mereka semua mengeluarkan taring yang
tajam kini. Berusaha untuk membunuhku.
“Bunuh!” teriak mereka serempak.
“Jangan
bunuh aku. Saat itu, aku cuma ingin
memasak untuk kalian tapi entah kenapa gasnya tiba-tiba bocor dan aku berlari
menghindar. Hitungan menit, meledak dan membakar.” Aku berusaha menjelaskan dan
mencoba untuk berlari tapi aku terperangkap,
tak ada jalan lain karena sekarang berada di lantai dua. Salah satunya adalah
lompat dari lantai dua ke lantai satu, tapi itu sama saja—membunuhku.
“Sandi.”
Suara wanita itu datang lagi. Kini diikuti sebuah rentetan doa. Kalimat-kalimat
panjang yang terus menyebut nama Allah. Pada setiap ketukan doa itu perlahan
memberikan cahaya di hadapanku. Sosok yang mengerikan itu perlahan menghentikan
langkah pula. Cahaya itu akhirnya melindungiku.
***
“Sandi,
syukurlah. Akhirnya kamu sadar juga.”
Dengan
kondisi yang masih lemah, aku perlahan menggerakan tubuh dan membuka mata.
Kulihat ibuku sedang menatapku sayu, juga ada ayah dan kedua kakakku. Aku agak
heran.
“Nak,
kami sudah sangat khawatir padamu. Kamu tak sadarkan diri hampir seminggu sejak
ditemukan di pinggir hutan dengan kondisi yang sangat parah karena kecelakaan
mobil. Orang yang menabrakmu pun telah minta maaf dan kami tak berniat untuk
membawanya ke ranah hukum. Kesembuhan lebih utama,” jelasnya tapi agak
memberikan sedikit kebingungan bagiku.
“Mana
Reno, Angga, dan Delon?” tanyaku khawatir tapi dengan suara yang masih melemah.
Kulihat tubuhku yang berbalut perban di sana sini.
“Jangan
terlalu bergerak lebih, Nak. Tiga sahabatmu itu telah meninggal seminggu yang
lalu. Bersamaan dengan hari ditemukanmu. Awalnya mereka sulit diidentifikasi
karena tubuh mereka yang telah gosong terbakar bersama rumah di tengah hutan.
Tapi, hasil DNA dari keluarga mereka dan juga rencana yang kaukabari sebelum
berangkat ke sana mengungkap hal itu. Ekspedisi malam Jumat yang sangat berbahaya.” Kini ayahku yang angkat bicara.
Meninggal?
Perasaan beberapa menit yang lalu aku sempat bersama mereka walau itu dalam
keadaan yang sangat mengerikan. Apakah itu yang dinamakan perjalan arwah saat
koma? Entahlah.
Related Story for Cerpen
,Horor
2 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Em... Setting Bone, tp nama2 tokohnya jawa sekali dek... Delon... Hm... Blogwalking... :)
BalasHapushehehhe,, itu nama kerennya, Kak. Soalnya kita bisa lihat sekarang orang Bone juga ikut-ikutan pake nama dari sana.
Hapus