Rabu, 30 Oktober 2013
“Kebakaraaannnn!”
Sebuah teriakan keras yang membuatku terbangun dari tidur siang dengan tersanga-sanga. Kutarik sarung yang melorot ke bawah dan segera kukenakan. Lalu, bersecepat aku berlari ke arah pintu yang dari tadi digedor-gedor oleh seseorang di baliknya.
“Terbakar! Terbakar!” teriaknya lagi sembari terus menggedor pintu dan makin membuatku panik tidak karuan. Aku mulai berpeluh-peluh. Tanganku bergetar ketika meraih anak kunci yang tergantung di atas pintu dan memasukkannya ke dalam gembok.
Dia terus mengetuk pintu keras-keras dan berkali-kali teriak. Hingga aku kewalahan membuka kunci yang juga terjatuh berkali-kali. Akhirnya setelah kukeluarkan semua energiku dan berusaha menghilangkan rasa panik yang membuncah, gembok pun terbuka. Kutarik gagang pintu itu dan telah melihat Marwah, kemenakanku, berdiri dengan keadaan yang tak tenang dan terus meronta-ronta ketakutan.
“Tenang, Marwah! Tenang!” Aku berusaha menenangkannya.
“Dia terbakar!”
“Siapa yang terbakar? Di mana kebakaran?” Kupegang erat tangannya bermaksud untuk membuatnya tenang. Tapi, dia semakin tak terkendali. “Baiklah, tarik napas dalam-dalam dan embuskan, lakukan itu selama tiga kali.”
Dia pun melakukan yang kuperintahkan. Menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya. Alhasil dia tenang dan tidak gelisah lagi.
Beberapa detik selanjutnya, dia kembali teriak. “Terbakar! Dia terbakar!”
“Marwah, siapa yang terbakar? Jawab!”
“Mas, aku takut,” keluhnya.
“Iya, tapi jawab dulu. Siapa yang terbakar? Di mana kebakaran?”
Aku telah mencoba sekuat tenaga untuk membuatnya menjawab pertanyaanku. Tapi, dia tetap bersikap tidak tenang tanpa sebuah jawaban apapun yang dikeluarkan darinya. Tiba-tiba Sarwan, kakak Marwah, berjalan menuju ke arah kami dengan wajah yang berkobar-kobar memerah. Tampaknya dia sangat marah.
“Marwah, kembalikan uang jajanku!” teriaknya geram dan berlari ketika ia melihat Marwah.
“Lihat, Mas! Dia terbakar. Tolong lindungi aku!” mohonnya cemas.
Kemudian Marwah berlari masuk ke dalam rumahku untuk berlindung. Sementara Sarwan sangat marah dan menampakkan wajah bengisnya, seakan siap membantai mangsanya.
Aku menepuk jidat dan kembali tidur.
Sebuah teriakan keras yang membuatku terbangun dari tidur siang dengan tersanga-sanga. Kutarik sarung yang melorot ke bawah dan segera kukenakan. Lalu, bersecepat aku berlari ke arah pintu yang dari tadi digedor-gedor oleh seseorang di baliknya.
“Terbakar! Terbakar!” teriaknya lagi sembari terus menggedor pintu dan makin membuatku panik tidak karuan. Aku mulai berpeluh-peluh. Tanganku bergetar ketika meraih anak kunci yang tergantung di atas pintu dan memasukkannya ke dalam gembok.
Dia terus mengetuk pintu keras-keras dan berkali-kali teriak. Hingga aku kewalahan membuka kunci yang juga terjatuh berkali-kali. Akhirnya setelah kukeluarkan semua energiku dan berusaha menghilangkan rasa panik yang membuncah, gembok pun terbuka. Kutarik gagang pintu itu dan telah melihat Marwah, kemenakanku, berdiri dengan keadaan yang tak tenang dan terus meronta-ronta ketakutan.
“Tenang, Marwah! Tenang!” Aku berusaha menenangkannya.
“Dia terbakar!”
“Siapa yang terbakar? Di mana kebakaran?” Kupegang erat tangannya bermaksud untuk membuatnya tenang. Tapi, dia semakin tak terkendali. “Baiklah, tarik napas dalam-dalam dan embuskan, lakukan itu selama tiga kali.”
Dia pun melakukan yang kuperintahkan. Menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya. Alhasil dia tenang dan tidak gelisah lagi.
Beberapa detik selanjutnya, dia kembali teriak. “Terbakar! Dia terbakar!”
“Marwah, siapa yang terbakar? Jawab!”
“Mas, aku takut,” keluhnya.
“Iya, tapi jawab dulu. Siapa yang terbakar? Di mana kebakaran?”
Aku telah mencoba sekuat tenaga untuk membuatnya menjawab pertanyaanku. Tapi, dia tetap bersikap tidak tenang tanpa sebuah jawaban apapun yang dikeluarkan darinya. Tiba-tiba Sarwan, kakak Marwah, berjalan menuju ke arah kami dengan wajah yang berkobar-kobar memerah. Tampaknya dia sangat marah.
“Marwah, kembalikan uang jajanku!” teriaknya geram dan berlari ketika ia melihat Marwah.
“Lihat, Mas! Dia terbakar. Tolong lindungi aku!” mohonnya cemas.
Kemudian Marwah berlari masuk ke dalam rumahku untuk berlindung. Sementara Sarwan sangat marah dan menampakkan wajah bengisnya, seakan siap membantai mangsanya.
Aku menepuk jidat dan kembali tidur.
Related Story for Fiksi
,Flash Fiction
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)