Minggu, 06 Oktober 2013

KPK Jadi Hantu - Part 4 (Kisah Komedi Horor)

Dunia kita memang telah berbeda. Dimensi ruang telah memutuskan hubungan kita. Tapi, bukan berarti cinta pun ikut tenggelam bersama pasir merah yang mengeliling. Cinta terus tumbuh layaknya pohon yang terus dipupuk. Tumbuh di mana? Di hati kita semua.

Aku mencoba beradaptasi dengan lingkungan baruku. Lingkungan aneh bin ajaib. Mau tidak mau, itu harus aku lakukan karena jika tidak, maka aku akan tersungkur zaman.

Setelah berhasil tertidur dan terus meronta-ronta karena kesal dengan dengkuran si Hantu Pendengkur. Di tengah lelapnya tidur, sebuah bunyi yang merasuk ke kupingku terdengar begitu kencang. Seketika itu, aku terbangun terhuyun-huyun ketakutan. Apa yang terjadi? Aku teriak-teriak dari kuburan dan langsung terdengar dobrakan dari luar.

“Siapa itu?” tanyaku menjerit.
“Banguuuunnnn! Ini sudah malam, cepat bergegas dan keluarlah! Karena sidang hantu segera dimulai.” Seseorang berteriak dari luar dan terus mengetuk-ngetuk pintu dengan keras.
“Tungguuuuuu!” teriakku balik.

Segera kurapikan tempat tidurku dan membuka pintu cepat. Saat pintu terbuka, kulihat berbagai jenis hantu telah berjalan berderetan menuju ke suatu tempat. Aku yakin jika mereka menuju ke ruang sidang hantu, seperti yang dikatakan sebelumnya oleh hantu yang berteriak dari luar kuburanku. Aku pun meliuk-liukkan badan, menerobos para hantu dan masuk ke deretan mereka, pun ikut berjalan bersama.

Kutolehkan wajahku ke segala arah. Kulihat begitu banyak hantu yang berjalan berbaris-baris, sepertinya hampir mencapai puluhan kilometer barisan. “Orang mati sudah banyak, ya?” gumamku. Beberapa langkah, akhirnya kami sampai juga di aula hantu yang luar biasa luas. Aku tercengang kagum. Semua hantu telah duduk di kursi yang telah disiapkan. Begitupun dengan diriku, duduk di kursi deretan paling belakang dan paling jauh dari sumber pembicara. Si pembicara tak terlihat sedikitpun, bagai anaknya virus.

“Wuhhh, membosankan!” keluhku.
“Apa yang membosankan?” Sesosok hantu di samping kananku tiba-tiba mengagetkanku dan membuntutiku pertanyaan.
“Apalagi kalau bukan sidang ini. Apa sih yang mereka bahas? Pasti suatu yang tidak penting.” Aku makin kesal dan terus mengumpat sidang.
“Yah, beginilah jadi hantu, penuh membosankan. Tapi, lebih membosankan jadi aku, terus mengesot dan mengesot padahal aku pocong yang seharusnya lompat loncat,” keluhnya juga.

Aku kaget mendengar kata ‘ngesot’. Segera kupalingkan wajahku ke kanan dan ternyata dia adalah si pocong ngesot itu. Betapa senangnya setelah kuketahui dia di sampingku karena aku sunggu penasaran dengannya.

“Kamu? Aku tuh ngefans banget sama kamu karena menurut aku, kamu itu hantu paling keren dan tak mudah putus asa. Meski ditinggalkan jauh, tapi kamu tak menyerah untuk terus mengesot padahal aku yakin kamu lebih terkenal darinya,” sanjungku.
Wajahnya hitam suram memerah merona. “Aduhh, kamu bisa aja! Tapi, menurutku itu biasa. Aku juga sudah sering kok mendapatkan sanjungan, bahkan para hantu-hantu gelap yang sudah terlihat cantik bersahut-sahutan merayuku,” ungkapnya sombong meskipun aku tahu kalau itu palsu belaka.
“Oh iya, kenapa kamu bisa ngesot? Padahal kan, takdir pocong itu lompat-lompat,” tanyaku mengintrogasi.
“Ooh, awalnya aku masih normal seperti pocong lainnya, lompat-lompat kesana kemari, tapi setelah terpeleset dan jatuh pontang panting, kakiku patah dan jadilah aku pocong ngesot itu,” jelasnya pilu.
“Baiklah, aku boleh minta sesuatu nggak?” tanyaku harap.
“Apa?”
“Habis ini, tolong temani aku ke dunia manusia, yah! Aku ingin menemui istriku yang telah kutinggalkan mati,” pintaku.
“Hmhmhmh, baiklah!” Ia menyetujui pintaku dan membuat hatiku perlahan mencuat bahagia.

Beberapa menit kemudian, tepuk tangan riuh hantu menggetarkan aula. Sepertinya sidang telah selesai meski satu huruf pun aku tak dengar. Semua hantu perlahan meninggalkan aula dan bertebaran di langit-langit, menghilang entah kemana. Aku mendekati si Pocong Ngesot untuk menagih janjinya menemaniku menemui istri.

“Congsot, ayo kita temui istriku,” ajakku.
“Congsot?” tanyanya heran.
“Pocong Ngesot. Nama hantumu terlalu panjang, jadi aku buat lebih singkat,” jelasku.
“Ooh, keren juga.”

Dia lalu menarik tanganku dan dengan sekejap kami telah berada di pemakaman. Suasana pemakaman yang begitu gelap dan menyeramkan agak membuat nyaliku ciut. Meski aku telah menjadi sesosok hantu, tapi aku belum mampu menghilangkan rasa takutku pada gelap dan hantu itu sendiri. Nyanyian kuntilanak dan lantunan lagu-lagu sendu yang menusuk jiwa terus menggetarkan nyaliku. Suara serak burung hantu membuat bibirku kaku ketakutan. 

Sesosok hantu dengan rambutnya yang terurai panjang juga menangis merintih-rintih dan selonjoran di atas kuburan yang tak jauh dari tempat kami berdiri.

“Waduhhh, nyalimu cukup ciut banget. Tak pantaslah kau seperti demikian. Kamu harus sadar bahwa kau juga hantu seperti mereka, jadi tidak perlu takut begitu. Oh iya, di mana istrimu tinggal?” ungkapnya tajam.
“Istriku tinggal di J&^#Gn$^%,” jelasku padanya.
“Apa? Jangan disensor gitu, mana aku tahu istrimu di mana?”
“Harus disensor gitu karena aku takut orang yang sedang memperhatikan kita dari jauh tahu keberadaan istriku. Aku tahu bahwa mereka sedang membaca kita,” jelasku dan masih ketakutan.
“Ooh, begitu! Baiklah, kaupegang tanganku dan sebut tempat istrimu di dalam hati, pikirkan tempatnya dan kita akan segera ke sana,” ucapnya menyuruhku.

Aku pun menunduk untuk meraih tangannya yang tersembunyi dari pakaian pocongnya. Lalu, memikirkan rumah yang pernah kami tempati dahulu, tepat di kamar kami atau tepat di tempat nyawaku berakhir. Aku memejamkan mata dan sekali kejap kami telah berada di tempat itu.

Betapa terperanjatnya diriku ketika kulihat istriku sedang bercumbu mesra dengan seorang pria lain di kamar, pria yang sama sekali aku tak kenal. Aku semakin geram ketika pria itu perlahan membuka kancing kemejanya dan melepaskan kemeja putih itu meninggalkan singlet putih polos. Kemudian menjulurkan tangannya ke seluruh tubuh istriku dan berhasil melucuti pakaiannya.

Aku semakin panas dan tubuhku terasa berkobar-kobar dengan api yang terus menyala-nyala. Kulihat Congsot yang terus memejamkan mata dan tak berani memperhatikan peristiwa sensual di hadapannya.

“Mas, apakah mereka sudah selesai?” tanyanya terus menutup mata.
“Apanya yang selesai? Mereka malah semakin asyik,” kesalku, “Apa?” kagetku melihat tingkah mereka yang aduhai.
“Ada apa?” tanyanya sembari terus menutup matanya.
“Mereka penuh gaya di ranjang. Ada gaya batu, gaya kupu-kupu, dan sekarang gaya jungkir balik,” geramku semakin dalam.
“Aduhh, kerjain aja laki-laki itu, buat dia kapok agar tak mendekati istrimu lagi,” sarannya.
“Caranya?” tanyaku penasaran.
“Pejamkan matamu dan bayangkan jika kamu bisa menyentuh apapun. Ingat! konsentrasi,” ujarnya memberikan saran.

Tanpa pikir panjang, kulakukan segera apa yang ia ajarkan. Memejamkan mata dan membayangkan semua benda dapat kusentuh. Setelah selesai, lalu kucoba menyentuh sebuah benda tapi tidak berhasil. Kucoba lagi dan masih tak berhasil.

“Tidak berhasil, Cong!”
“Konsentrasi!”

Kuulang sekali lagi. Memejamkan mata, membayangkan dan penuh konsentrasi. Kemudian, kucoba lagi menyentuh sebuah benda dan tak tersentuh jua. Aku tak menyerah dan aku semakin bernafsu untuk melakukannya karena ia pun semakin jauh mengecup puas istriku. Setelah berkali-kali kucoba dan kucoba, akhirnya berhasil. Aku berhasil menyentuh sebuah benda.

Lalu, kudekati si pria itu dan menghempaskan genggamannya dari istriku. Ia terlihat kebingungan, begitupun dengan istriku. Ia malah tak jera jua dan kali ini dia kemudian mendekatkan bibirnya ke wajah istriku. Aku semakin mendongkol, lalu kutarik singletnya dari belakang dan membuatnya jatuh terhembalang. Ia kaget dan semakin kebingungan. Meski telah kulakukan berbagai cara, si pria itu tetap teguh hati dan berusaha menghabiskan pelukannya ke istriku.

“Oh my God! Dasar pria terkutuk, wajah bejat, tukang cabul, bajingan,” umpatku kesal dan begitu geram.

Akhirnya kucoba cara terakhir, mengangkat kemeja dan melayangkannya. Dia dan istriku ketakutan setengah mati. Tapi, mereka lebih beruntung karena masih setengah mati, kalau aku, sudah full mati. Akibat ketakutan, si pria itu mengambil kemejanya dan mengenakannya.

“Sayang, ada hantu di sini! Aku harus pergi,” teriaknya ketakutan dan segera lari meninggalkan istriku tergopoh-gopoh.
“Sayang!” teriak balik istriku.

Istriku ingin mengejarnya tapi aku berhasil menghalangi dengan mengunci pintu kamar. Kulihat lagi si Pocong Ngesot dan ia masih menutup mata sembari tubuhnya terus bergetar merinding. Kampungan!

“Is-tri-ku,ku,ku,ku,” ucapku dengan suara yang menggema.
“Kurnia? Apakah itu Engkau?” tanyanya sembari tubuhnya terus merinding ketakutan.
“Be-nar,nar,nar, i-ni,ni,ni,ni aku datang me-ngunju-ngi-mu,mu,mu,mu. Me-nga-pa,pa,pa,pa kau tega menyelingkuhiku,ku,ku,ku?” Suaraku terus menggema dan menusuk-nusuk telinganya.
“Maafkan aku, Kurnia! Aku tak bermaksud melakukan ini,” ungkapnya membela diri.
“Tak bermaksud?” tanyaku syok dengan kepala yang meliuk-liuk dari bawah ke atas.
“Ya, dia adalah rekan bisnisku, jika aku tak melakukan ini, hubungan kerja kami akan diputuskan, padahal ini adalah satu-satunya cara agar dapat mensejahterahkan kehidupanku.” Ia masih membela diri.
“Malasan! Pintar kali dirimu mengibul wahai istri jahanam,” geramku dan semakin kesal.
“Aduh, kalau sudah jadi hantu tidak perlu sebodoh itu juga kali, bukan malasan tapi alasan,” ungkapnya sok imut dengan gaya sok chibi.
“Haloooooo, yang punya mulut siapa? Kamu? Terserah aku dong mau bilang apa. Hmhm, berani yah kau melawanku?”
“Aduh, maafkan aku! tadi aku khilaf.” Sekali lagi dia membela diri.
“Khilaf? Katamu khilaf? Sudah, bye!” ungkapku terakhir dan segera menghilang darinya.

Aku pergi ke atas sebuah gedung, menyelonjorkan kaki ke bawah. Aku sangat sedih, kenapa istriku begitu tega padaku? Kejam! Aku menangis menjerit-jerit di atas gedung itu. Tapi, meskipun begitu, aku harus cari tahu siapa pria yang berani-beraninya telah meluapkan gairah nafsunya ke istriku. Jika ketemu, akan kuuleti tubuhnya. Beberapa menit aku terus menjerit-jerit, meluapkan segara emosi pedihku, aku tersadar seketika bahwa si Pocong Ngesot ketinggalan di kamarku tadi. “Aduhhhh, aku harus kembali lagi deh.”


Bersambung atau To Be Continue


Related Story for Cerita Bersambung ,Horor ,Komedi

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah menyempatkan diri untuk membaca artikel di atas. Sekarang waktunya untuk memberikan komentar, saran, kritik atau masukan demi karya yang lebih baik lagi. Buat kalian yang tidak memiliki akun google, bisa diganti dengan NAME/URL