Kamis, 06 Februari 2014
Lebih dari Cinta
Oleh: Justang Zealotous
Sekian lama aku menanti hari yang tepat untuk mengatakan
perasaanku yang terdalam. Mengungkapkan tentang aku tak bisa merangkul dunia
ini sendirian. Aku butuh dirimu. Aku butuh tanganmu dikaitkan bersama tanganku.
Kita bawa dunia ini untuk kita berdua. Biarkan aku bersamamu.
Aku telah mengenalmu lebih lama daripada aku mengenal
bagaimana daun bergoyang mengikuti embusan angin. Aku telah mengenal seperti
apa cinta yang kaugenggam selama ini. Tapi, tak pernah ada empedu dalam diriku
yang membuatku harus mengungkapkannya. Aku terlalu takut kau tak bisa
menerimaku dari segala kesederhanaan yang kumiliki. Aku hanya punya cinta.
Namun, aku yakin tak perlu ada waktu untuk memikirkan
apakah kau mau atau tidak. Hal yang paling penting adalah aku telah
mengungkapkan apa yang selama ini menjadi bom atom dalam hidupku. Sesuatu yang
bisa saja membuatku hancur karena kebodohanku sendiri. Takut ditolak.
***
Suatu malam, aku berjalan sendirian menelusuri lorong
gelap. Langit sedang mendung, udara dingin seakan mematuk kulitku. Aku berjalan
sembari terus merangkul tubuhku dengan lengan panjang sweter yang kukenakan. Topi
merah yang menutupi kepalaku sedikit mereda dingin yang mulai kelewatan.
Aku berjalan cepat, semakin cepat. Aku harus ke opera.
Di sana, Reni sedang beraksi mempertunjukan tarian salsa yang telah lama
dipelajarinya. Usai itu, aku akan mencoba mengungkapkan perasaanku padanya. Aku
yakin ini adalah waktu yang tepat.
Beberapa meter sebelum tiba di opera. Beberapa mobil
yang bernuansa elegan telah terparkir di area depan opera. Aku segera berlari
sebelum opera benar-benar ditutup. Tepat, aku tak terlambat. Segera kuraih
undangan yang kusisipkan di saku celanaku dan menyerahkan kepada lelaki dengan
setelan jas warna hitam dan dasi kupu-kupu yang dari tadi membuka tutup pintu.
“FUAD ANDREA.” Lelaki itu membaca jelas namaku di
kartu undangan yang telah kuberikan. Ia tampak heran, mungkin dia ingin
memberitahukan sesuatu tapi seakan mendadak lupa. Dengan cuek, aku segera masuk
ke dalam opera. Dia masih tampak bingung.
Saat di dalam, beberapa orang telah menduduki
kursi-kursi di bagian depan. Terpaksa harus pasrah duduk di kursi hampir
terbelakang, menyaksikan Reni dari sangat jauh. Rupanya acara telah dimulai
setengahnya. Dia pun seperti kurcaci cantik yang bergerak-gerak dari tempat
dudukku.
Saat acara puncak, kaki dan tangannya bergerak seirama
dengan musik yang bertempo cepat. Tiba-tiba seorang lelaki bertopeng bulu ayam keluar
dan menari bersamanya. Mereka berdansa dengan sangat serasi. Lelaki itu
mengoyang-goyangkan tubuh Reni, memutar dan menjatuhkan, lalu menangkap dengan
tangkapan yang tepat.
Semua penonton yang datang bertepuk tangan. Aku girang
sendirian di belakang dengan terus meneriaki nama Reni. Kulihat, Reni tersenyum
ke arahku. Aku seakan meleleh seketika. Lalu, tirai panjang berwarna merah pun
ditarik turun bertanda acara telah selesai.
Aku segera berlari ke arah bawah, menuju belakang
panggung. Namun, terlebih dahulu kuambil bunga mawar berwarna merah muda. Bunga
itu akan kuberikan sebagai tanda keseriusanku untuk menyatakan perasaan yang
selama ini tersembunyi di hati terdalam.
Dengan wajah cerah tersenyum merona, aku perlahan
menarik pintu ruangan di belakang panggung itu. Jantungku mulai berdebar
kencang. Apakah aku siap? Aku tak ingin memikirkan hal itu. Intinya adalah aku
harus ungkapkan hari ini.
Saat pintu terbuka, kulihat dari belakang di ujung
ruang punggung Reni, dia sedang menatap cermin sambil tersenyum lebar. Mungkin
dia bahagia karena telah berhasil memberikan pertunjukan yang mengagumkan. Aku
pun bangga padanya.
Beberapa langkah, aku berjalan perlahan
mengendap-endap dari belakang. Sekonyong-konyong, gerak-gerik dan postur tubuh
yang mirip sekali dengan lelaki yang berdansa bersama Reni sebelumnya, masih
kuingat pada topeng bulu yang dikenakannya, menghentikan langkahku. Kemudian
dia melepaskan topeng itu dan merentangkan tangan kanannya ke arah Reni. Reni
meraihnya.
Dia segera mendekap Reni lebih erat. Sungguh sakit
rasanya aku harus menatap itu. Kemudian sebuah kecupan dari bibir lelaki itu
menyosor ke pipi Reni. Aku semakin hancur luluh. Karena kumampu mencintaimu
lebih dari ini. Dengan air mata terjatuh membasahi pipiku. Aku berbalik arah
dan berlari keluar dari ruangan itu.
“Fuad?” teriak Reni ketika sadar akan kehadiranku.
Tapi, aku lebih cepat menghilang sebelum dia sadar betul bahwa aku telah hadir
menyaksikan hal menyedihkan yang menimpaku.
Aku menyandarkan punggungku ke dinding. Sambil
berpikir betapa bodohnya aku. Aku telah lama memberinya waktu untuk menungguku.
Padahal aku yakin, dia pun pernah punya hati untukku. Aku terlalu banyak
menyia-nyiakan waktu yang dia beri.
Kini, dia telah menjadi milik orang lain. Lelaki itu
lebih dahulu menggeser posisiku di hatinya. Aku telah selesai, kisah percintaan
yang tak pernah sampai telah tamat. Aku berlari menuju panggung. Aku berdansa
sendirian.
“Hancur hatiku. Apakah kau bisa mendengarnya? Apakah
aku harus teriak agar kau menoleh sekejap padaku dan berada dalam dekapanku?”
teriakku mulai terlihat agak gila. Aku memang gila. Gila akan cinta yang tak
bisa kuraih.
Beberapa menit, aku berdansa tak karuan di atas
panggung sendirian. Tanpa penonton yang memenuhi kursi-kursi kosong di depanku.
Tiba-tiba Reni datang bersama lelaki itu. Aku membuang muka.
“Fuad, apa yang kaulakukan?” tanya Reni kebingungan.
“Aku telah lama mencari tangga menuju ke hatimu. Tapi,
aku lebih memilih menatap lantai karena tak mampu menatap matamu dan berkata
bahwa aku mencintaimu. Kini, itu sudah terlambat dan itu tak penting lagi,”
teriakku sesenggukan lebih gila.
Reni berlari ke atas panggung meninggalkan lelaki itu
sendirian. Lantas dia segera merentangkan tangannya dan memelukku. Tak ‘kan
pernah ada yang bisa kukatakan setelah dia merangkulku. Hanya ini yang aku
pinta meski kau tak jadi milikku. Saat itu, kupejamkan mataku dan berharap
setelah terbuka, kulihat cahaya bersinar itu lagi di wajahmu.
“Fuad, apa benar yang sebelumnya kaukatakan itu?”
tanya Reni setelah melepaskan pelukan itu.
“Lupakan! Lelaki bodoh seperti aku tak pantas
mengungkapkan hal itu padamu.”
Dia kemudian menarik tanganku dan menggenggamnya ke
arah dada. “Fuad, tolong katakan sekali lagi kalau kau mencintaiku!”
“Ah, kau pikir aku buta dan tak bisa melihat tadi. Aku
memang buta karena hanya dirimu yang bisa kulihat,” bantahku lebih dalam dan
menghentakkan tangannya.
Dia menarik tanganku sekali lagi. Namun, kini kuhentakkan
lebih keras hingga dia terjatuh. Aku kaget dan berniat untuk menolongnya.
Sejurus kemudian, sebuah bongkahan tinju mengarah ke pipi kiriku. Rupanya tinju
itu datang dari lelaki yang bersama Reni sebelumnya.
Lelaki itu kemudian menarik leher sweterku saat aku
terbaring lemah di lantai. “Woi, lelaki pengecut. Jika kau memang mencintainya.
Katakan!. Jangan melukainya!” umpatnya.
Emosiku langsung melambung tinggi. Api seakan membara
di atas kepalaku. Darahku naik seketika. Aku menghempaskannya. Segera membalas
tinjunya dengan luncuran kepalanku. Bibirnya membiru sebagaimana dia berhasil
membuatku membiru. Aksi jotos pun terjadi di antara kami.
Reni yang masih duduk di lantai, berdiri dan segera
berlari ke arah kami. Dia mencoba untuk melerai perkelahian kami. Dua tangannya
dijulurkan di antara kami.
“Hentikan!” pekikknya kencang.
Refleks, aku dan lelaki itu menghentikan aksi kami.
Kemudian, Reni berjalan menghampiriku dan memberiku tamparan yang keras yang
mendadak.
“Fuad, aku tak mengerti maksudmu. Hentikan perkelahian
ini. Aku tak peduli lagi dengan apa yang kau katakan sebelumnya,” bentak Reni
dan segera menarik tangan lelaki itu dan mencoba pergi menjauh.
“Reni!” teriakku dan ia bergeming. “Maafkan aku! Aku
terlalu gila akan cinta ini. Satu pesanku buat kau yang memukulku tiba-tiba.
Jaga dia sebagai kekasihmu. Jangan kau sia-siakan cintanya padamu.”
Reni dan lelaki itu pun berbalik ke arahku lagi.
“Apa? Kekasih? Dia bukan kekasihku. Dia cuma rekan
dansa,” elak Reni.
Lelaki itu tertawa kecil. Dia sepertinya meledekku.
“Aduh, ternyata kamu telah salah paham. Mungkin karena kaulihat pelukan dan
cium pipi tadi. Itu cuma karena kami sangat bahagia dengan pertunjukan tadi.
Kami telah lama menyiapkannya dan terasa terbayar sudah,” jelas lelaki itu.
Aku tertunduk malu. Hatiku seakan kembali berbunga.
“Jadi, apakah kamu bisa mengulang pernyataanmu yang
tadi?” tanya Reni.
“Baiklah, aku mencintaimu. Maukah kau jadi kekasihku?”
ungkapku lebih mantap.
Reni pun kembali berlari ke arahku dan segera
merangkulku erat. Aku bahagia sekali. Dekapan ini tak lagi bisu ataupun buta.
Depakan ini telah nyata. Reni telah berbaring dalam sandaran cinta yang telah
kubangun.
***
Usai kejadian yang sangat membahagiakan hidupku itu.
Kami pun berjalan bergandengan keluar dari opera. Lelaki yang menjadi penjaga
pintu itu pun masih berdiri gagah di depan pintu. Lalu, dia membukakan pintu
lagi saat kami ingin keluar.
Dia tersenyum ke arahku. “Fuad Andrean? Maaf, aku
lupa. Tadi, ada sesuatu yang dipersiapkan untukmu dari Non Reni. Ini dia!”
ucapnya sembari menyodorkan sebuket bunga dan bertuliskan “FUAD, Lihat aku
kalau kamu cinta aku!” pada selembar kertas yang melingkari bunga itu.
Aku tersenyum ke arah Reni. Dia pun membalas senyuman
itu.
SELESAI
Related Story for Cerpen
,Fiksi
,Romance
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)